Oleh: Moh. Rifai M. Hadi
Tak heran mengapa masyarakat sekarang lebih senang menanyakan “uang amplop” dari pada menanyakan, “agenda apa yang di bahas”, saat ada pertemuan. Kondisi yang sangat memprihatinkan tentunya. Kali ini saya menulis tentang pengalaman, yang sering di jumpai di berbagai kampung dan pengalaman teman-teman saya, saat mereka menceritakannya ke saya.
Pada hari itu, saya sedang minum kopi di ruang tamu rumahku, tentunya, sambil mengisap sebatang rokok. Tiba-tiba ada salah satu tokoh masyarakat datang ke rumah, niatnya hendak mengundang orang tua saya untuk pertemuan di balai desa. Katanya, “pemerintah daerah setempat mengundang untuk pertemuan.” Namun, pada saat itu orang tua saya lagi pergi ke kebun—sebelum matahari menyinari kampung kami. Dengan terpaksa, beliau meminta saya untuk menggantikan bapakku menghadiri pertemuan itu. Saat ditanya, ini pertemuan apa? Beliau menjawab sosialisasi “Read” dari kabupaten. Cuci muka, ganti baju dan, celana. Hendak pergi ke balai desa.
Ternyata pertemuan itu, tidak berbentuk sosialisasi, melainkan simulasi. Karena kemarin masyarakat di kampung saya itu, sudah sempat ikut pelatihan Read sebelumnya. Sehingga fasilitator hanya me-review kembali apa yang telah berikan.
Di akhir pertemuan itu, kami yang hadir, di panggil satu persatu melalui absen. Mengambil sebuah amplop yang isinya belum bisa dipastikan. Terlintas dibenakku saat itu, untuk apa uang ini? Sehingga mendorong ku untuk membuat tulisan pendek ini.
Teringat cerita teman kuliahku, waktu dia turun Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa tahun silam. Tempatnya tidak jauh dari kampus kami. Ceritanya begini: “malam itu kelompok KKN kami sedang membuat undangan untuk penyuluhan hukum dan kesehatan, yang rencananya kami buat di balai desa. Undangan kami cetak sebanyak 200 lembar. Saat pagi tiba, masing-masing dari kami yang sudah membagi tugas untuk mengantar undangan. Nah, hampir semua masyarakat yang kami bagikan undangan, menanyakan ‘ada uang amplop?’ wah, saya kaget, mengapa tiba-tiba menanyakan uang?” Kata teman saya itu. “Padahal saya sudah memakai Almamater, salah satu Universitas terkenal. Pasti mereka tahu, bahwa saya ini adalah mahasiswa. Tapi mengapa mereka tanya uang? Saya pun menjawab, bahwa ini hanyalah penyuluhan mengenai Hukum dan Kesehatan, jadi tidak ada uang, kami hanya menyediakan konsumsi untuk para undangan,” lanjut teman saya.
Besoknya, lanjut temanku itu. Ketika tiba waktu penyuluhan, yang hadir hanya seorang nenek berjilbab, dari 200 undangan yang kami sebar.
Dapat dibayangkan pengalaman temanku itu. Padahal ilmu yang akan dibagikan kepada masyarakat, namun mereka tidak peduli dengan ilmu itu. Andaikan temanku bilang ada “uang amplop”. Kemungkinan besar lebih dari 200 orang yang akan hadir.
Mengapa masyarakat sekarang harus menanyakan uang ketimbang ilmunya? Siapa yang membuat masyarakat seperti ini? Bermula dari pengalaman saya, bahwa ketika ada, baik lembaga pemerintah maupun lembaga social yang membuat suatu pertemuan, maka ujung dari pertemuan itu akan membagikan amplop, yang isinya bervariasi. Jika setiap pertemuan demikian adanya, maka organisasi, badan, individu apapun yang mengundang masyarakat pertemuan, maka di benak mereka adalah “uang amplop”.
Kembali pada point di atas: ketika para undangan menunggu dipanggil melalui absen, saya langsung beranjak pergi. Kembali duduk di teras rumah dan melanjutkan minum kopi. Tak berapa lama, seorang warga datang ke rumah—hendak mengantarkan amplop yang di bagikan sang fasilitator di Balai Desa tadi. Saat kubuka, isinya Rp. 20.000. Uang itu, saya simpan di dalam dompet. Saya abadikan. Hehehehe….
Naahh, kali ini pengalaman berikutnya, organisasi paguyuban yang sempat membesarkan saya. Saat itu, kami mengadakan seminar lingkungan. Tibalah saatnya membagikan undangan, dan saya salah satu menjadi tim pengedar undangan itu. Dari dua puluh (20) undangan yang saya edar, enam belas (16) diantaranya menanyakan “ada uang jalan?” maksudnya “uang amplop”. Bayangkan, masyarakat di kampung tetangga saya, juga sudah terkontaminasi dengan “uang amplop”. Bisa di pastikan, ini disebabkan dari ulah para pembagi “uang amplop” dalam setiap pertemuan. Itu pasti.
Bantaya Lanoni, 03 Agustus 2013
Pengagum sunyi, penikmat kopi, dan tidak suka lebai.
Saat ini menjadi Pengacara Publik di Bantuan Hukum Advokat Indonesia.
hasannote
Saya tak butuh amplop, tapi butuh isi amplop!Saya kira wajar kalau sekedar menerima amplop, tapi kurang/tidak wajar, kalau tiap ada undangan, kita bilang,”Kalau ada uang jalan/amplopnya, saya hadir! Kalau tidak, ya gimana nanti!”
mohrifaihadi
Hehehehehe. Jika semua masyarakat begitu, bagaimana kita mau buat pertemuan? Artinya ini sebuah pemanjaan. dan Akhirnya hegemoni masyarakat tentang “uang amplop” semakin meningkat.
terima kasih telah memberikan komentar. semoga sehat selalu.
hasannote
Ha..iya juga.Tapi, sekali-kali, kalau adalagi orang yg minta amplop,ya bilang,”Ada, Pak!” Negeri ini negeri amplop! Oke, Sama2. Moga bisa saling berbagi, ya..
mohrifaihadi
Sengaja di jadikan negeri Amplop. Hahahaha.,.
hasannote
Tak bisa dihilangkan, di negeri mana pun tradisi “mengenakkan” itu..he
mohrifaihadi
Hahahaha.,. sepertinya begitu.
hasannote
No day but amplop! Met id fitri, mas!
mohrifaihadi
MInal Aidin Walfaidzin
Mohon Maaf Lahir Bathin.
hasannote
Oke, Om! Moga THR plus baju lebarannya cocok buat digunakan besok..he
mohrifaihadi
Hehehehe.,. kebetulan tidak ada Baju lebarannya.
cukup baju yang lama. Lumayanlah.,. hehehehe
hasannote
Baju lama dibuat baru/dibarukan (disetrika..)
mohrifaihadi
hahaha.,. cara jitu.
hasannote
Dan terbaru! Ha
niprita
Baru tau fenomena ini Kak. Padahal tanpa uang amplop pun, banyak manfaat yang bisa diambil ya. Bisa silaturohim, dapet ilmu–seperti kata Kakak–dan konsumsi. Mungkin orientasi masyarakat kita masih uang, belum sampe ke kebutuhan ilmu. Banyak perut yang belum terganjal, soal mengisi otak masih bukan hal penting.
mohrifaihadi
Betul. Di sisi lain, ada lembaga tertentu yang senang memanjakan masyarakat dengan “Uang Amplop” itu. Sehingga mereka ketergantungan yang mungkin tak bisa terobati.