Lompat ke konten

Jerat Hukum Perusak Lingkungan

Bacaan 6 menit
jerat hukum perusak lingkungan
Ilustrasi. Sumber gambar: Tom Fisk, Pexels.

Kelestarian alam kian terancam, mengingat saat ini jerat hukum perusak lingkungan sangat sulit untuk diterapkan. Ada berbagai sebab, pertama kerusakan baru bisa terukur apabila sudah terjadi sehingga sangat sulit mengidentifikasi terjadinya kerusakan sebelum kejadian.

Kedua, subjek hukum yang besar seperti korporasi sangat sulit untuk dijerat. Terkadang yang terkena jeratan hukum malah orang-orang praktisinya. Pencemar yang sesungguhnya malah masih bebas. Sehingga potensi terjadinya perusakan lainnya masih cukup besar.

Ketiga adalah belum banyak orang berani untuk melaporkan melalui jalur hukum apabila mengamati terjadinya fenomena perusakan lingkungan hidup. Edukasi yang kurang seimbang juga menjadi penyebab mengapa masih banyak pihak pencemar tetapi lolos jeratan hukum.

Jerat Hukum Perusak Lingkungan

Artikel kali ini, saya mencoba mengurai jerat hukum perusak lingkungan, yang mungkin Anda membutuhkan. Kita memulainya dari …

Apa itu Lingkungan Hidup?

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri-kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.[1]

Sementara perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.[2]

Apa itu Kerusakan Lingkungan Hidup?

Secara pengertian rusaknya sebuah ekosistem adalah peristiwa penurunan mutu lingkungannya dalam menunjang kehidupan di sekitarnya. Ada banyak sekali tanda-tandanya yang bisa diamati, yaitu mulai berkurangnya sumber air, punahnya flora dan fauna, atau berkurangnya mutu udara.

Rusaknya sebuah area hijau merupakan contoh paling umum dan sering ditemui, sebabnya bisa beragam, mulai dari kepentingan manusia membangun industri, adanya faktor bencana alam, atau terjadinya perubahan iklim dan cuaca di lingkungan tersebut.

Kerusakan tersebut akan memberikan dampak langsung bagi penghuni di sekitarnya dan tidak langsung kepada seluruh manusia di bumi. Berdasarkan word risk report, kejadian ini merupakan salah satu ancaman terbesar dan menjadi penyebab kenapa terjadi banyak bencana.

Kerusakan sebenarnya terjadi karena alamiah, itu juga merupakan suatu siklus alam untuk menyeimbangkan dirinya sendiri. Namun apabila ada faktor manusia, harus ada jerat hukum perusak lingkungan. Karena kerusakannya terjadi atas unsur kesengajaan dan negatif.

Contoh efeknya secara langsung dan sering terjadi, ketika sebuah tahan produktif seperti sawah, daerah resapan, atau daerah dekat sumber air, diubah menjadi proyek dan bangunan. Warga sekitar akan mulai kesulitan dapat air bersih dan muncul potensi banjir.

Bentuk perusakan paling bahaya yang pernah dilakukan manusia adalah limbah zat radioaktif. Disebabkan karena beberapa hal, mulai dari percobaan senjata berbahaya, efek peperangan, atau bocornya pembangkit listrik energi nuklir.

Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.[3]

Sementara Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.[4]

Hak Warga Negara Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik

Konstitusi kita sebenarnya sudah mengatur mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini secara tegas tercantum dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan tersebut menyebutkan:

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan ke UUPPLH melalui Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.

Pasal 28 H ayat (1) di atas, jika kita hubungan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (4)[5] berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien-berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”—sebenarnya persoalan hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD. Dengan kata lain, Indonesia paham benar bahwa prinsip “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan” sangat penting.

Namun pada praktiknya, masih begitu banyak kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup. Lebih parah lagi tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Artinya, meskipun telah termuat dengan sangat menarik dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tapi dalam implementasi penegakan tidak maksimal, sama saja dengan bohong.

Sangat Berat, Jerat Hukum Perusak Lingkungan

Fungsi dari sebuah hukum adalah mengatur perilaku manusia, mulai dari interaksi dengan manusia lainnya atau interaksinya dengan alam. Mengingat efeknya akan berdampak sistemik, harus ada undang-undang dan sanksi yang mengatur tentang perbuatan perusakan tersebut.

Saat ini ada beberapa jenis sanksi yang akan dikenakan kepada para perusak lingkungan apabila terbukti memang melakukan perusakan tersebut.

UUPPLH telah menegaskan 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan penegakan hukum administratif, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.

Untuk pidana, Sanksi mulai dari denda jutaan rupiah hingga berakhir mendekam di penjara sesuai ketentuan waktu tertentu, berikut detailnya.

1. Pasal 60 juncto Pasal 104 UU PPLH

Berdasarkan UUPLH Pasal 60 menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh membuang limbah atau dumping secara sembarangan. Apabila melanggar, berdasarkan pasal 104, sanksinya adalah denda maksimal sebanyak 3M dan kurungan selama 3 tahun.

Apabila yang melakukan adalah sebuah perusahaan, dan terbukti secara sengaja melakukan perusakan, juga bisa dijerat secara hukum. Sanksinya paling sebentar 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta dendanya paling besar adalah 15 M.

Namun apabila tidak ditemukan unsur kesengajaan tetapi berdampak pada terjadinya pencemaran, hukumannya berupa kurungan penjara minimal 3 dan maksimal 9 tahun. Denda minimal sebesar 3 miliar sedangkan denda maksimalnya adalah 9 miliar.

2. Pasal 41 dan 42 UULH

Berdasarkan UULH pasal 41 dan 42 juga terdapat jerat hukum perusak lingkungan apabila memang terbukti mengakibatkan pencemaran ataupun kerusakan. Hukumannya bisa berupa denda dan kurungan penjara, maksimal 500 juta dan paling lama 10 tahun.

Apabila terjadi kelalaian atau tidak sengaja melakukan pencemaran juga mendapatkan hukuman, meskipun sedikit lebih ringan. Besaran denda maksimalnya adalah 100 juga rupiah dan kurungan penjara paling lama yaitu 3 tahun.

3. Gugatan Perdata

Selain sanksi tersebut, pihak perusak seperti perusahaan juga berpotensi mengeluarkan uang lebih untuk menyelesaikan dampak pencemarannya. Salah satunya adalah melalui tuntutan masyarakat atas dampak dan efek karena terjadinya pencemaran tersebut.

Besarnya gugatan nanti akan diajukan oleh penggugat disertakan dengan bukti-bukti serta kesamaan peristiwa. Apabila disetujui oleh pengadilan, maka perusahaan harus membayarkan ganti ruginya sebesar permintaan dari masyarakat yang terdampak

Lingkungan merupakan tempat tinggal sekaligus tempat bertahan hidup bagi manusia maupun penghuni alam lainnya, karenanya menjaga kelangsungannya adalah sebuah kewajiban. Diperlukan jerat hukum perusak lingkungan agar tidak terjadi hal yang merugikan.

Contoh Kasus Jerat Hukum Perusak Lingkungan

Sebelum mengurai contoh kasus, saya ingin mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai bencana yang terjadi sepanjang 2021. Menurut catatan BNPB, di Indonesia telah terjadi kejadian bencana 2.293 kali. Dengan korban meninggal 559 orang, 76 yang hilang, sebanyak 6.785.660 yang menderita dan mengungsi. Dari data tersebut, Indonesia masih rawan bencana yang disebabkan berbagai hal.

Kita beralih ke contoh kasus. Apakah benar di Indonesia telah ada kasus perusak lingkungan yang lanjut ke tingkat pengadilan? Jawabannya ada.

Salah satu di antaranya adalah kasus Teluk Buyat di Manado. Akan tetapi, kasus tersebut, kepada pelaku pengrusakan lingkungan, Majelis Hakim memvonis bebas.

Contoh lain bisa kita lihat dalam perkara Nomor: 1215/Pid.Sus-LH/2016/PN.Pbr. Dalam pertimbangan hukum putusan, yang dibaca tanggal 20 Februari 2017, Majelis Hakim menggunakan hukum pidana sebagai primum remedium.

Kasus tersebut adalah kasus pembakaran hutan, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Meskipun belum ada upaya hukum perdata yang dijalani oleh pelaku, hakim tetap menggunakan hukum pidana dalam putusannya. Menurut Hakim, perbuatannya telah melanggar hukum dan membuat resah masyarakat. Sehingga menghukumnya dengan pidana.

Penutup

Kejadian bencana alam di Indonesia semakin banyak terjadi. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah ulah manusia. Namun demikian, jerat hukum perusak lingkungan tampaknya masih belum maksimal. Khususnya bagi korporasi.

Meskipun jerat hukum perusak lingkungan ini sudah diatur sedemikian rupa melalui peraturan perundang-undangan, akan tetapi terlihat sangat sulit menjerat pelaku.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Baca Juga: Jerat Hukum atas Kekerasan Seksual Terhadap Anak


[1] Lihat Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[2] Lihat Pasal 1 angka 2

[3] Pasal 1 angka 17 UUPPLH

[4] Pasal 1 angka 16 UUPPLH

[5] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tinggalkan Balasan