Kasus Baiq Nuril, mantan pegawai honorer bagian Tata Usaha di SMU 7 Mataram, NTB, baru-baru ini mencuat ke publik.
Hal ini bermula karena Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor: 574 K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018, telah memvonis Baiq Nuril dengan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan dan denda Rp500.000.000.
Daftar Isi
Kasus Baiq Nuril: Tingkat Pertama Bebas
Putusan akhir ↗ pengadilan tingkat pertama di Pengadilan ↗ Negeri Mataram, Majelis Hakim Perkara Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, tanggal 26 Juli 2017 memberikan vonis bebas kepada Baiq Nuril.
Putusan Tingkat Pertama tersebut dinilai publik sangat adil. Karena telah memenuhi rasa keadilan.
Vonis Mahkamah Agung
Putusan Hakim Mahkamah Agung tersebut, bagi sebagian masyarakat Indonesia menilai, untuk mencari keadilan di Negeri ini sangat mahal.
Namun semua itu adalah kebijaksanaan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hakim bersifat bebas, mandiri, dan tidak boleh diintervensi. Hakim memutus berdasarkan fakta-fakta dan hati nuraninya. Hati nurani Majelis Hakim tingkat pertama dan Majelis Hakim tingkat Kasasi tentu saja berbeda. Lihat saja hasil putusannya!
Terlepas dari semua kontroversi yang terjadi, kini banyak kalangan yang mendukung Baiq Nuril melalui berbagai cara, misalnya Tagar #SaveIbuNuril, Koin Untuk Nuril, hingga mengirimkan surat kepada Presiden dan Kejaksaan Agung—agar menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung.
Saya tidak ingin masuk pada pokok perkara—atau menyentuh pada substansi apa yang dilakukan oleh pelaku dugaan pelecehan, dan apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan oleh Baiq Nuril). Tulisan ini hanya ingin menyentuh pada pokok—yang seharusnya menjadi pegangan Hakim dalam memutus suatu perkara yang mana terdapat Perempuan.
Kasus Baiq Nuril dan Perma Nomor 3 Tahun 2017
Kasus Baiq Nuril ini mungkin bisa disandingkan dengan Perma. Adalah implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma ini berisi lima BAB dan dua belas Pasal—yang mengatur—bagaimana seharusnya Hakim mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta persidangan terkait adanya ketidak-setaraan status sosial di masyarakat yang mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.
Oleh karena Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right , maka semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Perma tersebut menyebutkan: “Perempuan berhadapan dengan hukum adalah Perempuan yang berkonflik dengan Hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak”.
Dari situ kita bisa melihat, bahwa Baiq Nuril dapat disebut sebagai korban dugaan pelecehan seksual, sekaligus sebagai pihak—yang tentu saja—sebagaimana tujuan dari Perma Nomor 3 Tahun 2017 tersebut, Hakim harus: (1) memahami dan menerapkan: (i) asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia; (ii) asas non-diskriminasi; (iii) asas kesetaraan gender; (iv) asas persamaan di depan hukum; (v) asas keadilan; (iv) asas kemanfaatan; dan (vi) asas kepastian hukum; (2) mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan Diskriminasi terhadap Perempuan; dan (3) menjamin hak perempuan terhadap akses setara dalam memperoleh keadilan.
Untuk itu, dalam tulisan ini, menurut pendapat saya, Hakim tingkat Pertama Pengadilan Negeri Mataram telah menerapkan dengan baik prinsip sebagaimana yang dimaksud dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Namun tentu saja, didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan—sehingga memutus bebas Baiq Nuril.
Berbeda sikap dengan Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Hakim pada tingkat Mahkamah Agung malah menyatakan bersalah Baiq Nuril karena terbukti melanggar hukum. Putusan tersebut jelas sangat merugikan perempuan dalam hal ini Baiq Nuril.
Padahal sangat jelas, bahwa M adalah Kepala Sekolah sementara Baiq Nuril adalah seorang Guru Honorer—di titik itulah terbentuk relasi kuasa—sesuai dengan maksud Pasal 1 ayat (9) Perma Nomor 3 Tahun 2017 yang menyebutkan: “Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.”
Melalui atasan-bawahan itulah terbentuk relasi kuasa, dan Baiq Nuril secara struktural memiliki posisi lebih rendah. Harusnya hakim tingkat Kasasi melihat hal ini lebih dalam.
Dalam klarifikasi Humas Mahkamah Agung yang tersebar di berbagai media mainstream, bahwa Hakim Mahkamah Agung memutus bersalah berdasarkan fakta persidangan. Dengan tidak mengensampingkan alasan tersebut, mari kita lihat Pasal 4 Perma Nomor 3 Tahun 2017 yang berbunyi:
“Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: a) ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara; b) ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan; c) diskriminasi; d) dampak psikis yang dialami korban; e) ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; f) relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya;”.
Hakim, dalam memeriksa kasus Baiq Nuril, wajib melihat hal-hal tersebut di atas. Sehingga menurut saya, seharusnya mendudukkan kasus Baiq Nuril sebagai korban dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh M.
Penutup
Dalam menangani kasus Baiq Nuril yang notabene adalah korban, hakim dinilai gagal menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Padahal hal tersebut berguna untuk menjamin perlindungan dan non-diskriminasi.
Jika hal-hal tersebut terus terjadi, maka bukan tidak mungkin para korban kekerasan seksual enggan melaporkan pelaku, karena takut akan dikriminalkan pelaku.
Jadi, menurut saya, dalam kasus Baiq Nuril, Hakim Kasasi diduga gagal mengimplementasikan Perma Nomor 3 Tahun 2017.
Baca Juga: Jerat Hukum atas Kekerasan Seksual terhadap Anak ↗