Lompat ke konten

Kisah Menjadi Advokat: Dari Kampung ke Jakarta

Bacaan 6 menit

Last Updated: 07 Mar 2022, 10:51 pm

kisah advokat

Perjalanan sebagai Advokat ini seperti penuh drama dan liku—tak menentu. Waktu itu, seminggu sebelum sidang skripsi Strata Satu (S1), saya membaca pembukaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Salah satu persyaratan dalam pamflet itu tertulis, “Sarjana Hukum atau Sarjana Hukum Islam”.

Tentu saja saya shock karena jangankan punya ijazah S1 Ilmu Hukum, ujian skripsi saja belum. Bagaimana cara saya mengikuti pendidikan ini?

PKPA itu rencananya akan dilaksanakan sebulan. Artinya, tiga minggu setelah saya ujian skripsi. Yang bikin tambah down lagi, melampirkan ijazah. Saya benar-benar frustrasi tak penuh harap.

Namun kemudian, saya mendapat petunjuk yang membuka jalan saya sebagai Lawyer. Seorang panitia—kebetulan saya kenal karena senior di kampus—mengatakan cukup dengan surat tanda kelulusan. Artinya, meskipun belum mengantongi ijazah dan belum wisuda, saya bisa mengikuti pendidikan itu. Hati saya berbunga.

Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Kejadian itu berkisar Maret 2014. Usai persyaratan pendidikan dinyatakan lengkap oleh panitia, saya dinyatakan berhak mengikuti PKPA dengan 30-an peserta lainnya. Pendidikan itu dilangsungkan selama kurang lebih 1 bulan. Berselang-seling pagi atau sore. Bahkan ada yang jadwal malam.

Setiap orang yang ingin menjadi pengacara wajib mengikuti PKPA. Hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU 18/2003).

Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”.

Berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dimaksud adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.

Usai pendidikan dan dinyatakan lulus, kemudian mendapatkan sertifikat tanda kelulusan.

Itu adalah syarat pertama untuk dapat diangkat dan disumpah sebagai Lawyer. Mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh organisasi.

Dua Kali Gagal Ujian

Beberapa bulan kemudian, kini menghadapi persyaratan kedua. Wajib lulus—yaitu Ujian Profesi Advokat (UPA). Puluhan orang telah mempersiapkan diri, dengan bermodalkan alat tulis dan kartu tanda peserta. Ini seperti ujian CPNS. Super ketat ujiannya.

Saya memang salah. Karena tidak mempersiapkan diri dengan maksimal untuk menghadapi UPA ini. Pada akhirnya, hasilnya saya dinyatakan tidak lulus. Agak kecewa. Tapi saya menunggu UPA selanjutnya.

Pada ujian kedua, saya bersama rekan yang lain tak lulus nyaris setiap minggu ikut tryout. Kami tak mau gagal untuk kedua kali. Beberapa orang sebenarnya telah gagal berkali-kali. Atau lebih dari 3 kali.

Setiap ada kantor hukum yang buat tryout, kami mengikutinya dengan maksimal. Setelahnya ada evaluasi. Segala macam tulisan dibaca, yang menyangkut ilmu hukum.

Ketika tiba waktu ujian, saya benar-benar yakin akan lulus. Saya sudah mempersiapkan diri dan mental. Saya merasa pengetahuan meningkat, karena rajin ikut tryout. Rajin membaca. Serta latihan-latihan lainnya.

Namun sayangnya, ujian kedua ini saya kembali gagal total. Seorang kawan celetuk, bahwa saya tidak cocok jadi Lawyer. Bagusnya jadi penulis saja. Saya tersinggung.

Selain dari 8 persyaratan lain, untuk dapat diangkat sebagai Lawyer, salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi adalah telah lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat[1]. Pada akhirnya, karena tidak lulus, gagal pula menjadi penegak hukum.

Magang di Salah Satu Kantor Hukum Senior

Meskipun demikian, saya tetap diterima untuk magang di salah satu kantor hukum senior di Kota Palu. Saya mengikuti program magang yang diwajibkan dalam UU 18/2003 bersama beberapa rekan lainnya.

Magang pada kantor hukum tersebut dimaksudkan agar saya sebagai calon Lawyer dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesi. Magang dilakukan sebelum diangkat sebagai Lawyer.

Di samping itu, saya juga mengikuti aktivitas di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat—yang sudah saya geluti semenjak masih mahasiswa. Dua aktivitas itu kemudian membawa saya ke dunia praktisi hukum—setidak-tidaknya mengetahui—meskipun belum memahami dengan benar.

Beberapa kali menangani kasus. Lebih banyak nonlitigasi, karena untuk sampai ke litigasi, lisensi saya sebagai pengacara belum ada. Artinya belum sah sebagai Lawyer.

Sampai akhirnya pada akhir 2014, saya hijrah ke Jakarta.

Migrasi ke Jakarta

Saya berasal dari salah satu kampung di Kecamatan Dondo, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Masa kecil saya habiskan di kampung itu.

Usai lulus SMA, saya melanjutkan kuliah di Universitas Tadulako , Palu, mengambil jurusan Ilmu Hukum. Lebih kurang 7 tahun saya menghabiskan waktu di Kota Palu . Dari semenjak kuliah tahun 2007, hingga lulus pada 2014.

Akhir 2014, saya memutuskan migrasi ke Jakarta. Di Jakarta, saya melanjutkan kuliah S2 pada bidang ilmu yang sama.

Di Jakarta, saya sejenak melepas aktivitas praktisi hukum. Saya mengikuti pelatihan menulis beberapa kali—juga melakukan aktivitas menulis.

Kemudian kerja di penerbitan buku beberapa bulan. Aktivitas itu sama sekali tidak berhubungan dengan pendidikan formal. Semua pendidikan non-formal.

Sampai akhirnya saya dipertemukan dengan seorang rekan yang kini juga sedang membangun usaha Kopi Yuyo .  Pertemuan itu sebenarnya tidak terduga. Rekan saya ini posting foto di Facebook bahwa dia sedang berada di Jakarta. Saya menghubunginya untuk bertemu.

Di Jakarta, dia sedang mengikuti sekolah Pengadaan Barang dan Jasa yang dilangsungkan selama berbulan-bulan.

Dari pertemuan itu, kami kehilangan kontak. Beberapa bulan tidak saling berkabar. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya.

Aktivitas menulis dan kerja di penerbitan buku saya lakukan selama beberapa bulan. Situasi ini terhenti ketika suatu malam saya merenung—yang membawa saya pada posisi—telah menempuh pendidikan formal selama 6 tahun 9 bulan 6 hari.

Posisi saya nyaris drop out dari kampus itu menyadarkan saya ketika di Jakarta: mengapa tidak melanjutkan sebagai praktisi hukum?

Menjadi Paralegal Sekaligus Magang

Situasi itu membawa saya mencari tempat magang. Lagi-lagi, Tuhan mempertemukan saya dengan rekan yang baik. Saya kembali dipertemukan dengan rekan si pengusaha Kopi Yuyo ini. Tuhan mengutusnya untuk membantu saya.

Saya kemudian diperkenalkannya dengan salah satu Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta . Pengurusnya meminta saya untuk melengkapi berkas-berkas pendaftaran sebagai paralegal . Juga menjadi peserta magang di Kantor Pengacara milik Bapaknya.

Dari situlah saya diangkat sebagai paralegal di Organisasi Bantuan Hukum tersebut—sekaligus sebagai peserta magang di Kantor Hukum Pengacara senior.

Kondisi ini membawa saya lebih banyak mengenal dunia praktisi hukum. Mengapa demikian? Karena aktivitas-aktivitas yang saya ikuti, bersentuhan langsung dengan praktik baik di dalam maupun di luar pengadilan .

Sebagai calon Pengacara, saya wajib mengikuti, mempelajari, memahami—mengalir seperti air—dan ketika buntu—meminta saran dari senior.

Menjadi paralegal sekaligus peserta magang, diberikan keleluasaan untuk “berbuat sesuatu” dalam penanganan perkara. Dan, ketika kegiatan itu di luar kemampuan saya, saya meminta bantuan kepada senior.

Aktivitas-aktivitas itu berupa drafting dokumen hukum: surat kuasa , gugatan atau sejenisnya, jawaban atas gugatan , dan sebagainya. Untuk perkara-perkara pidana , begitu banyak kasus-kasus yang ditangani—didampingi oleh Pengacara tentu saja.

Dari pengalaman praktisi hukum itu, dan ketika memenuhi 2 (dua) tahun magang, kemudian saya dilantik dan disumpah menjadi Lawyer.    

Pengangkatan dan Penyumpahan sebagai Advokat

Untuk diangkat dan disumpah sebagai Lawyer tentu saja harus lulus ujian. Di atas, saya sudah ceritakan bahwa telah gagal lulus ujian sebanyak dua kali.

Di tengah-tengah aktivitas magang, saya mengikuti ujian pengacara dan berhasil. Saya mengikuti ujian Pengacara tanggal 11 Februari 2017.

Pada Oktober 2017, dibuka pengangkatan dan penyumpahan Advokat. Sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat(1) UU Advokat, sebelum menjalankan profesi, wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

Sejak Oktober 2017, saya telah berhasil menjadi seorang yang berstatus sebagai penegak hukum dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia[2].

Sejak sebelum menjadi Lawyer hingga saat ini, telah ratusan perkara pidana yang ditangani. Tentu saja bersama tim. Di samping itu, puluhan bahkan ratusan perkara perdata dan tata usaha negara baik perseorangan maupun perseroan sudah saya kerjakan.

Penutup

Menjadi seorang Lawyer menurut saya pribadi tidak mudah. Harus mengikuti beberapa tahapan yang ditentukan perundang-undangan . Saya sudah merasakan sendiri bagaimana beberapa kali gagal ujian.

Namun enaknya adalah, kita bisa menentukan sendiri jam kerja. Kita bisa menjadi ‘bos’ untuk diri sendiri.

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Lihat Pasal 3 ayat (1) huruf f Undang-undang Advokat.

[2] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Advokat.

Tinggalkan Balasan