Lompat ke konten

Kertas di Bawah Jendela Kamarku (16)

Bacaan 7 menit

Last Updated: 20 Mar 2022, 09:23 pm

kertas
Ilustrasi. Dokumentasi pribadi.

Sebenarnya ada ancaman yang cenderung membahagiakan wajah-wajah muram beberapa saat lalu. Saat di mana awan kembali kompak dan bersatu hingga awalnya putih bersih lalu berubah kecokelatan, kemudian hitam pekat.

BMKG menyiarkan pengumuman lewat radio-radio dan televisi, bahwa detik itu juga, kota yang penghuninya tiap hari dirundung kerinduan—akan hadirnya hujan.

Tetapi semua itu hanyalah bualan belaka. Rintik pun tak ada. Hanya elang-elang perkasa yang sesekali mendiamkan sayapnya melanglang-buana di udara—begitu indah. Dan, pada masa-masa seperti itu, aku pasrah dengan keadaan yang masih datar.

Aku memang bahagia karena telah lulus SMP. Ponika pun demikian, sampai berujar padaku, bahwa ia akan melanjutkan sekolahnya. Ia mungkin lupa, bahwa untuk mencapai mimpi, aku juga harus melanjutkan sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Orang tua kami berdua di kampung tak mengetahui bagaimana keberadaan kami di Kota Kaktus ini. Mereka juga belum tahu, bahwa anak-anaknya kini telah lulus ujian. Aku menggenggam jari jemari Ponika yang kini telah diwarnainya entah mencontohi siapa—mungkin ia lihat di majalah.

Aku katakan padanya, bahwa aku juga melanjutkan sekolah, tetapi terlebih dahulu harus memberitahukan kepada orang tua di kampung, kalau jenjang kali ini, akan membutuhkan biaya yang lebih besar dari sebelumnya.

Ia membalas menggenggam jari jemariku dengan erat. Ia tampak tak yakin, bahwa semua akan mulus dijalani. Seperti roda ban mobil, katanya, sesekali akan menemui jalanan berlubang, buntu, dan akan mengandaskannya untuk melaju, bahkan berjalan. Logika demikian itu benar adanya, bukankah selama ini demikian adanya?

Aku meyakinkannya, bahwa untuk meraih mimpi bukanlah semudah membalikkan telapak tangan yang normal. Mesti di tempuh dengan ketabahan dan diiringi oleh doa-doa mujarab, agar Tuhan memberikan sedikit kemudahan untuk menempuhnya.

Malam ini, di mana telah tiga malam pasca pengumuman kelulusan itu, Mangge Robuka tampak termenung, dan sedikit kehilangan semangat hidupnya. Apa pula kami ini hanya anak-anak dan masuk pada dunia remaja—dan menempuh dunia ugal-ugalan—yang harus berpikir-pikir untuk melakukan sesuatu, lantas harus direnunginya?

Ketergantungan akan kasih sayang oleh anak-anak seperti kami, memang tak mudah untuk dihapus oleh Mangge Robuka. Dan, aku menyarankan kepada Ponika, agar untuk melanjutkan sekolah, tidak akan berpindah-pindah tempat kos, agar Mangge Robuka tidak kesepian, dan selalu kita harapkan sebagai wali.

Ponika mengiyakan dengan senyuman dari bibirnya yang merekah seperti bunga mawar. Jari-jemarinya yang halus dan terawat masih melekat di tanganku. Dari bola matanya seperti mata anak elang itu, seperti berujar, bahwa kita akan terus bersama-sama, sampai mimpi-mimpi itu akan tercapai dengan tuntas.

Suasana suhu udara semakin malam semakin dingin. Dan, sudah begitulah ketentuannya. Anak-anak lain entah ke mana. Mungkin lagi merayakan kelulusan dengan teman-teman lainnya. Anehnya, aku tak suka merayakan sesuatu, selain dari berdoa kepada Tuhan—mengucapkan Puji Syukur dan terima kasih pada-Nya.

Merayakan kelulusan semacam itu bagiku, hanya menghabiskan uang—yang sementara, uang di kantongku—telah kuperiksa, tinggal beberapa ribu saja. Ini adalah kecelakaan yang tampak berkepanjangan, sebab tak ada lagi kiriman yang datang menghampiri Kos Sundulut.

Aku biarkan kisah-kisah di masa SMP itu dibungkus dalam. Dan di sebuah album pada catatan harianku yang warnanya seperti telah memudar, karena tiga tahun lalu aku beli dari sebuah toko buku.

Walaupun aku sempat berkata pada nyawaku sendiri tiga tahun lalu, bahwa pendidikan adalah jalan untuk menempuh mimpi, namun kadang-kadang aku terpikir, ketika pendidikan memakan uang yang banyak, apakah mimpi-mimpiku itu akan tercapai?

Ah, kenapa rasa pesimis ini kembali muncul, padahal aku selalu meyakinkan Ponika: pasti bisa! Pikiran dan hatiku memang kadang bertentangan, dan kadang pula tidak sejalan. Bagaimana mungkin seorang wanita yang bermimpi mulia sepertiku hanya mengandalkan doa untuk meraih mimpi tanpa adanya uang?

Oh, Tuhan, jika Engkau adalah jalan dan senantiasa membukakan jalan bagi pemimpi sepertiku, mohon jangan lupa, berilah segumpal rezeki-Mu kepada kedua orang tuaku—agar bantuan-Mu ke mereka itu, dapat membantuku meraih mimpi-mimpi ini, ucapku dalam hati.

Sekelebat doa mengalir sepanjang malam. Inilah kenapa aku tampak seperti sebuah daun yang pasrah jatuh ke tanah yang telah mengering itu. Dalam doa tak lupa pula diselipkan pengharapan akan turunnya hujan dengan kadar yang jauh dari biasanya. Aku tak sempat tidur, karena memang, malam ini, kegelisahan kembali merundungku. Untung saja, esok tak lagi sekolah seperti biasanya. Libur panjang ini, sesekali membuat otakku jenuh—tak bisa berpikir—tetapi ketika malam seperti ini, bayang-bayang  laut yang indah itu tersudut di pikiranku.

Aku melakukan pijakan yang normal tak seperti biasanya. Pijakan yang menerbangkanku ke udara dan membawaku ke angkasa—agar aku menemukan sebuah pencerahan yang pasti tentang datangnya sebuah ilham yang menyentuh tubuh.

Aku membuka jendela kamarku, yang kulihat hanyalah bintang-bintang yang bertaburan di langit biru—berkilau-kilau dan sesekali saling menyentuh. Aku tak ubahnya seperti anak kecil yang senang dengan bintang-bintang mainan di dalam kamarku. Di mana bersama ibuku saat itu—yang cantik dan penyayang. Aku rangkul tubuhnya dan memeluk erat-erat karena telah bersedia membuatkanku beberapa bintang dari kertas yang tak terpakai, lalu digantungnya di sudut-sudut kamar hingga ke luar rumah. Aku tak pedulikan tertawaku dapat membangunkan tetangga, sebab aku masih kanak-kanak.

Bermandikan dengan cahaya-cahaya lampion yang berkedip-kedip—kekuning-kuningan, dan sesekali menerobos gelapnya ruangan hingga membuat terang menderang. Rasa-rasanya, aku ingin menjadi seorang putri yang bergentayangan di malam hari dan menghibur semua anak-anak yang tak punyai harapan hidup karena seonggok penyakit yang mematikan.

Kadang-kadang pula ibu memaksaku memakai sebuah mahkota yang terbuat dari kertas lalu diperintahkannya menari-nari di atas ranjang kecilku sambil memetik bintang buatan yang mengkilap-kilap menggantung di kamarku. Betapa karunia Tuhan aku dilahirkan dari rahim seorang ibu—yang tak lupa untuk membahagiakan anaknya.

Gila. Betul-betul gila. Malam itu adalah sebuah malam di mana para malaikat turun ke bumi dan mengajak seluruh umat manusia memeluk bintang-bintang di surga. Malam itu, bidadari akan turun dan hendak membawaku terbang dan menggenggam bintang yang aku sukai, dan kemudian kubawakan pada ibuku sebagai hadiah balasan karena ibu telah ikhlas membuatkan bintang gemintang yang puluhan jumlahnya itu.

Dan malam ini, jendela itu telah aku buka sampai mentok pada titik nadirnya. Aku mengambil kursi belajar dan naik, lantas aku telah berhasil duduk di jendela itu. Aku goyang-goyangkan kakiku lalu mengkhayal, bahwa seorang bidadari datang menjemputku dan duduk di antara bintang itu. Jika keajaiban itu betul adanya, maka kututup jendela dan mengunci pintu, lalu pergi dan berdendang ria di sebuah tempat yang hanya aku pelajari di buku-buku ilmu angkasa. Dan kubiarkan tubuh  yang cantik dan montok ini terbang seperti elang dengan bebas di malam hari.

Tetapi, aku kembali terentak ketika seuntai suara mengendap-endap di belakang kamarku. Dalam gelap yang pekat, tentunya aku tak bisa melihat apa-apa selain dari bintang yang menggantung itu. Ah, mungkinkah itu setan? Ataukah bidadari yang hendak membawaku terbang? Tidak! Tidak mungkin setan!

Suara itu semakin mendekat dan membuat bulu kudukku merinding. Aku takut dan mengangkat kaki, lalu kumasukkan ke dalam kamar. Kini, seluruh tubuh yang molek ini telah berada di dalam kamar mungil. Sesekali aku keluarkan kepala dan melihat seisi di luar sana. Tak ada sama sekali. Aku gagal melihatnya dengan mataku sendiri.

Paginya, ketika aku terdorong untuk membuka jendela, yang malamnya tak juga bisa memejamkan mata. Terlihat sepucuk kertas di bawah jendela kamar, yang sedikit lembap karena embun sisa semalam. Aku penasaran, dan keluar kamar hendak mengambil kertas yang di lem dengan sangat rapi itu. Kumasukkan dalam kantong celana, sebab sedikit takut Ponika melihatnya. Ketika berhasil meraih gagang pintu kamarku, tiba-tiba Ponika mengagetkan. “Nit … Nita …,” panggilnya dengan suara yang berserak-serak agak basah itu.

Lantas aku terpengaruh dengan panggilan itu, dan sedikit memaksa untuk menengok ala kadarnya. “Hhhmmmm …,” aku mendehem, lalu merapikan kertas yang diambil tadi di dalam kantong celana, agar tak ketahuan sahabatku yang tomboi ini.

“Semalam, kau mendengar sesuatu, tidak?” tanyanya dengan jidat yang tampak mengerucut. Rupa-rupanya ia tak tidur di waktu yang sama ketika aku mendengar suara itu, semalam.

“Suara apa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Di belakang kamarku, ada suara seperti orang yang berjalan. Telah tiga tahun kita di sini, baru kali ini mendengar suara seperti itu. aneh!” katanya.

Aku mengatakan padanya, bahwa itu hanya sebuah perasaan halusinasi, dan telinga yang kadang-kadang sensitif ingin mendengar sesuatu. Tetapi ia masih bersikeras dan ingin menjelaskan sesuatu padaku. Tentunya, aku tak ingin mendengarkan sebab telah mendengar suara itu. Dan, aku sudah tak sabar dengan kertas yang berada di kantong celana.

“Tidak, Nita, kau harus dengarkan aku dulu!” serunya memintaku untuk mendengar.

“Sudahlah, Pon! Lain kalilah!”

Ia tampak kecewa. Wajahnya berubah muram setelah mendengar tanggapanku. Ia lantas berpikir, jangan-jangan suara itu dihasilkan dari telapak kakiku! Untuk tidak mengecewakannya lebih lanjut, aku dengan mengikhlaskan hati mendengarkan ceritanya, yang juga sebenarnya sudah aku saksikan sendiri.

Lantas, ia bercerita panjang lebar, hingga ia ketakutan. Katanya, ia ingin keluar dan mengetuk satu-persatu pintu kamar para sahabat, tetapi takut. Untuk menggenggam gagang pintu saja, tubuhnya bergetar dan kembali menarik selimut.

Rupanya, perempuan tomboi ini tak seberani saat melontarkan pertanyaan-pertanyaan pedas kepada siapa pun. Padahal, aku juga takut semalam! Ketika ia selesai bercuap, aku persilahkan mengambil air putih lalu meminumnya sebanyak dua gelas berturut-turut. Kukatakan padanya, bahwa itu adalah ramuan untuk menghilangkan rasa takut setelahnya. Padahal, itu hanya alibi untuk meloloskanku—sehingga dapat melihat kertas tadi.

Dengan sekejap ia menuruti dan berlari ke kamarnya, mengambil air dan meneguk dengan penuh semangat. Sejurus kemudian, aku lenyap ke dalam kamarku.

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version