Lompat ke konten

Sepucuk Surat yang Buruk (14)

<span class&equals;"span-reading-time rt-reading-time" style&equals;"display&colon; block&semi;"><span class&equals;"rt-label rt-prefix">Bacaan<&sol;span> <span class&equals;"rt-time"> 5<&sol;span> <span class&equals;"rt-label rt-postfix">menit<&sol;span><&sol;span>&NewLine;<div class&equals;"wp-block-image is-style-default"><figure class&equals;"aligncenter size-full"><img src&equals;"https&colon;&sol;&sol;www&period;rifaihadi&period;com&sol;wp-content&sol;uploads&sol;2021&sol;10&sol;sepucuk-surat-yang-buruk-min&period;png" alt&equals;"series menanti hujan di negeri kaktus" class&equals;"wp-image-4641"&sol;><&sol;figure><&sol;div>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Sepucuk surat yang buruk — Pada pertemuan yang ke sekian kalinya ini&comma; aku berubah seperti Malaikat tanpa sayap yang baik dan sama sekali seperti tak ada celah kekurangan apa pun&period; Setiap anak-anak lelaki&comma; perempuan&comma; atau keduanya&comma; berkata&comma; bahwa aku adalah perempuan yang sempurna di bumi ini—aku&nbsp&semi; hanya memberikan mereka senyuman sebagaimana senyum khas ibu&period; Aku mengikutinya&comma; dan itu alami&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Untuk satu atau dua dosa yang kupunya&comma; biarlah kusimpan&comma; dan akan kutebus dalam waktu singkat di sebuah masjid yang tua itu&period; Tetapi jika aku berdosa lagi&comma; maka akan kutebus lagi&comma; berdosa&comma; kutebus&comma; dan begitu seterusnya sampai orang-orang itu berhenti mengatakan bahwa aku adalah manusia yang sempurna&comma; dan itu ingin muntah&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Bibirku memang ranum seperti jambu air yang mekar di antara musim kemarau dan musim hujan&period; Hidungku mancung dan memang menggairahkan lawan jenisku&period; Mataku bulat dan sedikit berkobar jika memandang sesuatu apalagi yang aneh&period; Pipiku sedikit tembam dan aku memiliki lubang pipi&comma; yang disebut orang-orang kota itu sebagai lesung pipi&period; Ah&comma; aku tak tahu apa kata orang-orang kota itu selanjutnya—yang menurutku klaim yang tak berdasar hanya karena melihat sesuatu dari luar dan jarak jauh sekali&period; Tak pantas—tak bernilai&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Ya&comma; untuk ke sekian kalinya&comma; Purnama&comma; lelaki yang mencoba menaklukkan hatiku mencoba mengirimkanku sepucuk surat yang tulisannya begitu tak indah&period; Huruf-hurufnya dari satu ke huruf yang lain bersambung dan seperti tulisan cakar ayam&period; Kalimat-kalimatnya seperti berbentuk perbukitan yang tinggi lalu merendah&comma; lalu datar lagi&period; Melambai-lambai seperti ombak yang halus dan kemudian membesar&period; Ketika ia memulai dengan paragraf baru&comma; huruf pertama diperindah&comma; padahal menurutku itu sesuatu yang buruk&period; Bayangkan saja&comma; huruf A&comma; ya&comma; dengan kapital tentunya&comma; pada dua kaki sebagai bangunannya itu&comma; ia buat melengkung dan berputar-putar hingga menyerupai huruf O&comma; lalu ia tarik mata penanya hingga menggaris bawahi seluruh kata-kata pada barisan selanjutnya&period; Maksudnya baik—untuk memperindah&comma; tetapi menurutku itu mencerminkan kepribadiannya yang carut-marut dan berbelit-belit&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Di titik itu&comma; aku bisa menebak dengan penuh kekagumanku—ia tak bisa mengalahkanku di kelas&comma; karena tulisannya buruk sekali&period; Dan kuanggap&comma; surat ini hanyalah sebuah lelucon dari anak lelaki yang tampak dirasuki setan dari lapisan neraka entah nomor berapa&period; Menaklukkan perempuan yang cantik dan sering juara kelas sepertiku&comma; tak semudah mengambil uang di dalam kantong yang besar—namun lebih dari itu&comma; bahwa benteng mimpiku melapisi dengan sangat keras dan luar biasa&period; Jangan berharap aku membalas&comma; dan kubaca berkali-kali surat pertamanya yang ia titipkan kepada Ponika—sebagai jembatan khusus untuk merebut hatiku&comma; dan Ponika selalu berusaha mengubah pola pikirku yang katanya kaku tentang cinta&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Sekali lagi aku katakan pada Ponika&comma; bahwa selama mimpi-mimpiku untuk menjadi seorang Ahli Laboratorium belum tercapai&comma; jangan harap seorang lelaki mampu meluluhkan hatiku—apalagi hanya bermodalkan sepucuk surat yang huruf-hurufnya begitu buruk bagi bola mataku yang indah dan tajam ini&period; Ponika lalu berbalas&comma; bahwa sudah waktunya membuka hati untuk seorang lelaki yang tampan dan juga sedikit cerdas menurutnya&period; Lelaki yang hari-harinya di saat di sekolah memperhatikanku—ku pikir itu hanyalah sebuah fatamorgana—sepertiku&comma; yang memandangi senja tua di tepi pantai dalam waktu yang singkat—dan aku suka menatapnya&period; Begitu pun dengan Purnama—ia tampak melihatku secara fisik sebagai seorang perempuan yang bisa ia permainkan seperti bola yang sewaktu-waktu menggelinding jauh ke udara&comma; dan terhempas jauh di belukar dan tak pernah kembali dengan sendirinya tanpa dicari&period; Susah&period; Rumit&period; Dan tak mudahlah Purnama dan juga laki-laki lain—membuat hatiku bergetar karena jatuh cinta untuk pertama kalinya&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Setelah Purnama mengetahui&comma; bahwa aku selalu berada di pantai dikala senja menua&comma; ia pun bergegas dan mencari celah untuk mengintipku dari kejauhan di mana aku duduk lalu berdiri&comma; dan sesekali mengambil buku dan pena&comma; menuliskan sesuatu yang itu adalah harapannya bahwa aku akan membalas suratnya&period; Begitu girangnya lelaki bodoh yang jatuh cinta padaku itu—pikirannya terlalu subjektif dan selalu dikungkung oleh rasa cinta—padahal aku hanya menuliskan bait-bait puisi di senja tua ini&period; Bukan hendak membalas suratnya yang buruk dan tak beradab&period; Bisa-bisanya dalam suratnya itu memintaku untuk bertemu tepat jam sepuluh malam di sebuah taman yang pohon-pohonnya telah mengering dan penghuninya pasti sudah berkurang&comma; karena telah larut malam&excl; Anak sekecil itu&comma; apa semuakah yang ia pikirkan&quest; Kurang ajar sekali bukan&quest;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Baiklah&comma; aku akan berprasangka baik pada isi suratnya itu&colon; bahwa ia menanyakan satu mata pelajaran yang ia tak tahu&period; Tetapi&comma; sungguh&comma; bukankah waktu-waktu di sekolah tak cukup untuk menanyakannya&quest; Bukankah guru-guru yang setiap mengajar memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya apa yang tak dimengerti&quest; Lantas&comma; kenapa ia mengajakku untuk bertemu pada jam-jam kritis bagi anak sekolah seperti kami&quest; Prasangka menjadi buruk&colon; ia berniat jahat&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Ponika sudah berjanji padaku&comma; bahwa sebelum aku mempunyai seorang kekasih yang Allah janjikan padaku&comma; maka perempuan tomboi keturunan Kaili-Toraja itu tak juga bernafsu mendahuluiku mempunyai kekasih yang ia idam-idamkan dalam hati&period; Perjanjian itu&comma; meski sebuah perjanjian di bawah tangan yang ia deklarasikan sewaktu di kampung di bawah rinai hujan yang deras—dan ia sambil menari-nari&comma; tetapi menurutku&comma; ia tak ingkar begitu saja&period; Sebab&comma; kapankah Ponika ingkar janji padaku&quest;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Aku juga tak mengerti kenapa tiba-tiba pada kebahagiaan di masa kanak-kanak itu&comma; ia berucap yang sama sekali tak kumengerti secara persis&period; Yang aku mengerti hanyalah petir yang menyambar pepohonan enau hingga layu dan seterusnya mati&period; Guntur yang meledak-ledak berkali-kali membuatku kegirangan&comma; karena mengkilap-kilap seolah-olah memotret&period; Dan ia berpendapat&comma; bahwa Tuhan telah memotret kami&comma; dan hasil gambar-Nya dipajang di Surga nanti&period; Dasar kanak-kanak&excl;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Macam-macam yang dipikirkan pada masa kanak-kanak itu&period; Dan&comma; malu terhadap lawan jenis sama sekali tak ada&period; Bayangkan saja&comma; kami menari-nari di bawah titik-titik hujan itu tanpa pakaian sehelai pun&period; Dan&comma; ibuku tak pernah melarangku sebab ia tak ingin membatasi masa kebahagiaanku di masa itu&period; Sang ibu hanya melihat kami dari teras rumah yang tak begitu besar dan sesekali mempertemukan telapak tangan kanan-kiri dengan kencang&period; Ia bertepuk-tepuk tangan kegirangan melihat Aku dan Ponika&comma; juga beberapa orang lelaki sebayaku bermain-main di pusaran air hujan yang tergenang di halaman rumah—yang semuanya tak memakai pakaian&period; Luar biasa&comma; di masa-masa itu&comma; dan kali ini aku mengingatnya dan wajahku merona&period; Malu&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Setelah itu&comma; ibuku berpesan&comma; setahun lagi&comma; aku tak diizinkan untuk tidak berpakaian jika bermain-main di bawah derasnya hujan—bersama lawan jenis jika tak memakai pakaian sehelai pun&period; Sebab&comma; usiaku telah merangkak naik dan aku siap untuk sekolah di sekolah dasar yang tak jauh dari rumahku&period; Sebuah pesan yang kemudian&comma; memudarkan rona wajahku di senja menua ini&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Melalui ekor mataku&comma; Purnama mengendap-endap semakin dekat dariku&period; Pergeseran senja semakin berlalu&comma; dan itu artinya aku akan siap-siap pulang untuk menghadap pada-Nya&period; Dengan tingkahku yang tiba-tiba berbalik badan&comma; Purnama kaget dan terjatuh di antara kayu-kayu yang terhanyut dan terbawa derasnya air tawar dan menembus ke muara&comma; lalu disapu bersih oleh ombak hingga ke tepi pantai ini&period; Ia malu luar biasa dan aku tak pernah pedulikan itu&period; Aku pergi&period; Berlalu dengan sejuta bait puisi yang datang karena ilham dari senja&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Esoknya&comma; surat kembali menyasar&period; Dalam surat itu&comma; intinya bertanya&colon; apakah suratku akan di balas&quest; Betul dugaanku&comma; bahwa Purnama mengira&comma; aku hendak membalas suratnya&period; Kalaupun membalas suratnya&comma; paling tidak untuk menegaskan&comma; bahwa Purnama harus berhenti mengirim surat&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Esoknya lagi&comma; kami berpapasan di sekolah&comma; dan ia melempar senyum padaku&period; Dengan bangganya ia menarik napas panjang&comma; hingga hampir lupa menghempaskan melalui hidung&period; Kepalaku tegak&period; Pandangan lurus ke depan&comma; dan membiarkannya seperti makhluk kerasukan&period;<&sol;p>&NewLine;&NewLine;&NewLine;&NewLine;<p>Ya&comma; sepucuk surat yang buruk&comma; tak pantas untuk dibalas&period; Titik&period; &nbsp&semi;<&sol;p>&NewLine;

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version