
Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum Peninjauan Kembali ↗ ini dilakukan apabila ada pihak yang masih tidak puas atas putusan atau telah menempuh upaya hukum biasa yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun pertanyaannya, apakah PK dapat diajukan 2 kali?
Artikel ini secara khusus menjawab pertanyaan: apakah PK dapat diajukan 2 kali? Di samping itu, juga membahas beberapa putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review ↗ peninjauan kembali kedua.
Tulisan ini juga memaparkan beberapa pengaturan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dan putusan pengadilan tentang PK dapat diajukan 2 kali.
Daftar Isi
Kewenangan Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Sebelum membahas lebih mendalam tentang apakah PK dapat diajukan 2 kali, sebaiknya membahas kewenangan pemeriksaan PK.
Dalam ketentuan Pasal 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) menentukan:
“Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan ↗ yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Di samping itu, terdapat juga pengaturan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman):
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”.
Dari pengertian ini, kita sudah mengetahui lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara permohonan peninjauan kembali adalah Mahkamah Agung. Kewenangan tersebut termasuk memeriksa PK dapat diajukan 2 kali.
Dasar Hukum Peninjauan Kembali
Peraturan perundang-undangan ↗ telah mengatur, bahwa Peninjauan Kembali sebenarnya hanya diperbolehkan 1 (satu) kali saja. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung:
“Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”.
Penegasan permohonan peninjauan kembali dilakukan melalui UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) menyebutkan:
“Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.
Untuk perkara pidana ↗ diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menentukan:
“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”.
Judicial Review terhadap Pengaturan Peninjauan Kembali
Telah disebutkan dalam UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman, bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan ini kemudian diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan sikapnya melalui putusan. Beberapa putusan antara lain:
Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010
Permohonan Uji Materi ini diajukan oleh Herry Wijaya—untuk menguji konstitusionalitas Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung, Pasal 263 ayat (1), dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP terhadap beberapa Pasal dalam UUD 1945.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memberikan sikapnya melalui Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 ↗, tanggal 15 Desember 2010. Secara ringkas, saya kutip sebagai berikut:
“… pembatasan permohonan peninjauan kembali hanya untuk satu kali tidak ada relevansinya dengan jaminan persamaan di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pembatasan peninjauan kembali hanya untuk satu kali adalah pembatasan yang berlaku umum bagi setiap orang dan tidak ada pembedaan antara seseorang dengan seseorang yang lain“.
Penegasannya, menurut MK, apabila PK dapat diajukan 2 kali, keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang.[1]
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Dengan kata lain, permohonan untuk dapat mengajukan peninjauan kembali lebih dari satu kali tidak diterima.
Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013
Putusan lain adalah Nomor 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014. Permohonan Uji Materi ini dimohonkan oleh Antasari Azhar, Dkk—khusus untuk pengujian terhadap Pasal 268 ayat (3) KUHAP—yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam amar putusannya, MK mengatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan pertimbangan, yang ringkasnya:
“ … bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya. Namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan”.[2]
Putusan ini kemudian mengakomodir bahwa PK dapat diajukan 2 kali, khusus untuk perkara pidana.
Putusan Nomor 66/PUU-XIII/2015
Permohonan Uji Materi yang dimohonkan oleh Budiyono ini, salah satunya menyangkut Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung. Budiyono selaku pemohon menginginkan PK dapat diajukan 2 kali.
Namun, dalam pertimbangan hukumnya, MK merujuk pada putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2013. Sehingga pertimbangan hukum dalam putusan ini mengambil pertimbangan hukum dari putusan Nomor 34/PUU-XI/2013.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah oleh karena materi permohonan Pemohon terkait dengan persoalan peninjauan kembali adalah sama dengan materi permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 sebagaimana telah diputus oleh Mahkamah tanggal 6 Maret 2014, maka pertimbangan hukum Mahkamah tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon dalam perkara a quo.”[3]
Putusan Nomor 108/PUU-XIV/2016
Permohonan Uji Materi lainnya di MK adalah permohonan yang diajukan oleh Cuna, dan Kawan-kawan (Dkk). Permohonan ini juga terkait dengan pengujian konstitionalitas Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang dinilai bertentangan beberapa ketentuan pasal dalam UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 108/PUU-XIV/2016, tanggal 26 Juli 2017[4], menentukan sikap pada pokoknya:
“… Mahkamah berpendapat, apabila dibuka keleluasaan untuk mengajukan peninjauan kembali lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana, maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai. Pada akhirnya, menimbulkan ketidakpastian hukum. Keadaan demikian bertentangan dengan asas litis finiri oportet (bahwa setiap perkara harus ada akhirnya), serta justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan (justice seeker). Terlebih lagi apabila tidak dibatasi adanya peninjauan kembali dalam perkara selain pidana. Justru potensial digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk mengulur-ngulur waktu penyelesaian perkara dengan mencari-cari novum baru, yang tujuannya untuk menunda pelaksanaan eksekusi”.
Apakah PK dapat Diajukan 2 Kali?
Dari beberapa putusan MK di atas, PK dapat diajukan 2 kali hanya untuk perkara pidana saja. Untuk perkara selain pidana, tidak dapat dilakukan dua kali dengan alasan pada pokoknya asas litis finiri oportet.
Bagaimana dengan pengaturan yang dilakukan MA, sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara PK? Apakah MA mengatur PK dapat diajukan 2 kali? Berikut beberapa pengaturannya.
SEMA Nomor 10 Tahun 2009
Di samping terdapat putusan-putusan MK mengenai apakah PK dapat diajukan 2 kali, terdapat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (SEMA No. 10/2009). Poin kedua SEMA No. 10/2009 ini mengatur:
“Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan PK agar permohonan PK tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung “.
SEMA tersebut memberikan peluang PK dapat diajukan 2 kali.
SEMA Nomor 7 Tahun 2012
SEMA Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Rumusan Kamar Perdata dalam SEMA tersebut menyebutkan:
“Pada prinsipnya PK kedua kali tidak diperkenankan, kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan baik dalam putusan Perdata, Pidana, TUN, maupun Agama. (usul review SEMA No. 10 Tahun 2009).
SEMA Nomor 7 Tahun 2014
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA ini pada dasarnya menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014. Pada angka 3 dan 4 SEMA tersebut mengatur:
- Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.
- Permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 berupa apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan PK yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
SEMA Nomor 4 Tahun 2016
Belakangan, berdasarkan perkembangan yang terjadi, MA kembali mengeluarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan ↗.
Huruf B angka 5 SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut menentukan:
“Ketentuan terhadap angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 dilengkapi sebagai berikut: “Demi keadilan, permohonan peninjauan kembali kedua terhadap dua putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang saling bertentangan satu dengan yang lain dan salah satu di antaranya adalah putusan peninjauan kembali, dapat diterima secara formil walaupun kedua putusan tersebut pada tingkat peradilan yang berbeda, termasuk putusan pidana, agama dan tata usaha negara.”
Dari SEMA terakhir ini, pada dasarnya, PK dapat diajukan 2 kali apabila terdapat dua putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap saling bertentangan.
Putusan Pengadilan tentang PK dapat Diajukan 2 Kali
Selain adanya peraturan perundang-undangan, putusan MK, serta SEMA di atas yang menguraikan PK kedua. Mahkamah Agung melalui putusannya memberikan sikap tentang PK dapat diajukan 2 kali, sebagai berikut:
Putusan Nomor 550 PK/Pdt/2020
Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 550 PK/Pdt/2020, tanggal 26 Agustus 2020, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan peninjauan peninjauan kembali kedua tidak dapat dibenarkan karena permohonan peninjauan kembali kedua didasarkan pada 2 (dua) putusan dengan para pihak dan objek yang sama”.
Putusan Nomor 150 PK/Pdt.Sus/Pailit/2018
Putusan lainnya adalah Nomor 150 PK/Pdt.Sus/Pailit/2018, tanggal 27 September 2018. Permohonan PK Kedua ini dikabulkan MA dengan kaidah hukum sebagai berikut:
“… dalam putusan yang berbeda tentang permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon Pailit (PT Nusantara Sentosa Raya (PT NSR) dan PT Alam Abadi Perkasa (PT AAP) terhadap Termohon Pailit (PT Siak Raya Timber) dalam perkara Nomor 05/Pdt.Sus- Pailit/2015/PN.Niaga Medan, tanggal 19 Agustus 2015 telah menyatakan menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon Pailit. Namun kemudian putusan tersebut dibatalkan dalam Putusan Nomor 708 K/Pdt.Sus- Pailit/2015, tanggal 27 November 2015 yang mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon Pailit. Selanjutnya atas putusan kasasi tersebut Termohon Pailit mengajukan peninjauan kembali, yang mana permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak dengan Putusan Nomor 71 PK/Pdt.Sus-Pailit/2016, tanggal 14 Juli 2016, sehingga putusan tersebut berkekuatan hukum tetap”.
“Bahwa dari fakta tersebut sangat jelas bahwa kedua putusan yang sama-sama telah berkekuatan hukum tetap tersebut ternyata saling bertentangan satu dengan lainnya, sehingga mengacu pada ketentuan Pasal 4 SEMA Nomor 7 Tahun 2014 juncto SEMA Nomor 10 Tahun 2009 persyaratan pengajuan Peninjauan kembali kedua telah terpenuhi, sehingga secara formal pengajuan peninjauan kembali kedua tersebut dapat diterima”.
Dalam Putusan Nomor 150 PK/Pdt.Sus/Pailit/2018 tersebut, Majelis Hakim berpendapat PK dapat diajukan 2 kali.
Putusan Nomor 815 PK/Pdt/2018
Putusan PK dapat diajukan 2 kali yaitu Nomor 815 PK/Pdt/2018, tanggal 19 Desember 2019. Adapun kaidah hukum dalam putusan PK kedua ini adalah sebagai berikut:
- Terdapat pertentangan antara 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.
- Terhadap objek sengketa yang sama berupa tanah, telah diputus secara berbeda mengenai status kepemilikannya dalam 3 (tiga) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu: Putusan Nomor 218 PK/Pdt/2008 tanggal 28 November 2008; Nomor 543 PK/Pdt/2013 tanggal 24 Juni 2014; dan Nomor 331 PK/Pdt/2017 tanggal 31 Juli 2017.
- Dari beberapa putusan yang sama-sama telah berkekuatan hukum tetap tersebut, terdapat pertentangan putusan mengenai status kepemilikan objek sengketa sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum atas objek sengketa yang sama, di mana hal ini mengakibatkan permasalahan hukum mengenai siapa sebenarnya yang berhak atas objek sengketa.
- Berdasarkan pertimbangan di atas, maka putusan-putusan yang muncul kemudian sepanjang mengenai status objek sengketa telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan jika situasi ini dibiarkan akan menimbulkan kekacauan dalam penegakan hukum yang mengakibatkan sengketa tanpa akhir. Oleh karenanya, Hakim wajib mengakhiri suatu perkara apabila terhadap suatu objek perkara telah berkembang menjadi beberapa perkara dengan alasan apa pun, “litis finiri oportet” semua perkara harus ada akhirnya.
Simpulan
Mencermati uraian di atas, dapat diambil simpulan bahwa: pertama, PK dapat diajukan 2 kali. Kedua, PK dapat diajukan 2 kali bukan hanya terdapat 2 (dua) putusan PK yang saling bertentangan. Akan tetapi, bisa pula antara putusan judex juris dan atau judex facti yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, adanya dua atau lebih putusan yang saling bertentangan tersebut haruslah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Keempat, PK dapat diajukan 2 kali bukan hanya perkara pidana saja, akan tetapi putusan perdata, putusan tata usaha Negara ↗, dan putusan pengadilan agama. Kelima, objek sengketa harus sama.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Baca lebih lengkapnya dalam Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Desember 2010. (https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_Putusan%20Nomor%2016-PUU%20Acara%20Pidana%20_Edit%20Edy_.pdf) (diakses tanggal 12 Januari 2022).
[2] Selengkapnya baca putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1651_34%20PUU%202013-telahucap-6Maret2014.pdf , (diakses, Rabu, 12 Januari 2022).
[3] Selengkapnya baca putusan Putusan Nomor 66/PUU-XIII/2015 https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/66%20PUU%202015-UU_MA_&_UU_Agraria-Tidak_Diterima-telahucap-7Des2015-qrcode-%20wmActionWiz.pdf, (diakses Rabu, tanggal 12 Januari 2022).
[4] Lihat putusan lebih lengkap melalui https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/108_PUU-XIV_2016.pdf (diakses, Rabu, 12 Januari 2022).