Last Updated: 23 Okt 2021, 10:35 am
Jombloisme adalah ideologi para manusia jomblo.
Fenomena jomblo yang kian marak saat ini begitu mengkhawatirkan. Para ibu-ibu, emak-emak, bapak-bapak, tante-tante, dan nenek-nenek, menjadi prihatin dengan para keluarganya yang masih jomblo. Para jomblowan dan jomblowati ini tentu juga merasa prihatin dengan nasib keluarnya yang tiap detik memikirkan nasib sang jomblo itu.
Apalagi, situasi ini semakin mencekam tatkala kebijakan-kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak berpihak kepada para jomblo untuk menyediakan taman kepada kita-kita ini. Misalnya, taman untuk para jomblo. Sebab, kebijakan membuat taman sekarang ini, yang tersedia di sudut-sudut kota—sengaja diberi lampu agak temaram, untuk memanas-manasi para jomblo ketika berada di sana. Sehingga, kita tidak akan memenuhi bangku-bangku taman pada malam-malam minggu selanjutnya.
Itu memang kebijakan yang melanggar hak asasi kita. Kita juga punya hak selain mereka yang punya keluarga dan pacar itu. Masa kita datang ke taman, yang kita lihat sepasang kekasih lagi bersenang-senang, atau lagi marahan, atau lagi main tebak-tebakan, atau sepasang keluarga lagi refresh otak di sana—sementara kita, tak punya tempat. Ini tidak adil, bukan?
Maraknya jomblo di seluruh dunia, atau khususnya di negara burung garuda ini, tidak kalah penting untuk dibahas. Dan, sebagai langkah utama, tentu bisa membuat satu ideologi tersendiri. Jombloisme. Dengan begitu, pemikiran-pemikiran yang progresif dan militan tentang jomblowan dan jomblowati, bisa diperjuangkan dan dimenangkan di medan pertempuran gagasan.
Bahwa bukan hanya mereka-mereka yang bisa bersenang-senang dan selalu mengejek atau bahkan menyalahkan para jomblo dengan melemahnya rupiah saat ini. Jika kita tidak bisa bersatu dan membuat satu ideologi baru ini, maka jangan harap kita dapat bersaing dan memenangkan pertarungan, atau memenangkan satu permainan kasar dari mereka yang kurang ajar itu.
Jombloisme dan Pertemuan Akbar
Kita tentu perlu membuat satu pertemuan akbar, yang dihadiri oleh seluruh jomblowan dan jomblowati seantero negeri. Tapi dengan satu syarat, tidak ada yang boleh saling mencintai dan menyayangi ketika para jomblowan dan jomblowati ini bertemu. Haram hukumnya. Ingat itu!
Dalam pertemuan itu, tentunya yang dibahas pertama kali adalah langkah-langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk melawan tindakan-tindakan para cecunguk-cecunguk yang selalu riang menghina kita.
Langkah kedua yang harus dilakukan adalah menobatkan Agus Mulyadi sebagai pemimpin jombloisme ini. Sekiranya, beliaulah yang paling progresif dan militan, serta pandai dan mau berlama-lama menjadi jomblowan. Mari kita bermohon kepada Tuhan, agar Agus Mulyadi berlapang dada menerima menjadi pemimpin jombloisme.
Selain itu, perjuangan kita yang lain adalah, menghapus malam minggu sebagai malam panjang, yang selalu digunakan kaum sebelah untuk pacaran. Jika itu berhasil dengan jumlah massa kita yang banyak ini, maka paling tidak, mereka akan tunggang-langgang mencari malam-malam lain selain malam minggu yang selalu menyakitkan hati bagi kita.
Dengan beberapa langkah strategis tersebut di atas, menurut saya jombloisme akan mendapatkan jalan terang menuju planet mars—yang saling memanas-manasi dengan kaum sebelah. Memperkuat dan memperkukuh sebuah ideologi itu tentu tidak mudah. Akan tetapi, dengan mayoritas para jomblo di negeri ini akan mampu membuat perubahan-perubahan strategis, terutama dalam hal tata taman yang sering dipakai kaum sebelah bermadu kasih.
Selain itu, akan mempermudah Badan Pusat Statistik untuk mendata manusia-manusia yang lahir dari hubungan yang halal.
Baca Juga: Mengenal Isyana Sarasvati, Harapan Baru Para Jomlo