Lompat ke konten

Wajib Tahu, Apa itu Restitusi dan Kompensasi?

Bacaan 7 menit

Last Updated: 23 Mar 2022, 07:39 pm

apa itu restitusi dan kompensasi
Ilustrasi apa itu restitusi dan kompensasi. Sumber gambar: Pixabay

Baru-baru ini ramai diperdebatkan tentang Putusan Pengadilan Negeri Bandung. Pasalnya, dalam salah satu amar putusan membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Sebenarnya apa itu restitusi?

Artikel kali ini membahas tentang perdebatan tersebut. Di samping membahas apa itu restitusi, juga mengkaji apakah ada persamaan dengan kompensasi atau tidak.

Namun, sebelum membahas tentang apa itu restitusi serta hal-hal di atas, artikel ini merangkum beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan restitusi dan kompensasi.

Pengaturan tentang Restitusi dan Kompensasi

Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Terdapat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selanjutnya, untuk melaksanakan Undang-undang di atas, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

PP tersebut diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Di samping itu, terdapat pula Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

Setelah mengetahui beberapa regulasi terkait dengan perlindungan saksi dan korban di atas, selanjutnya kita membahas apa itu restitusi dan kompensasi.

Apa itu Restitusi?

Apa itu restitusi? Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga[1].

Dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana menyebutkan:

Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan apa itu restitusi. Restitusi adalah:

  1. ganti kerugian; pembayaran kembali: pegawai berhak memperoleh – pengobatan
  2. penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa: — kenaikan gaji bulan Maret akan dibayar bersama-sama dengan gaji bulan April
  3. Dok penyesuaian spontan kepala bayi dengan badannya sesudah kepala keluar dari rahim ibu
  4. Huk pemulihan kondisi korban atau penggantian kerugian yang dialami korban baik secara fisik maupun mental.

Sementara Kamus Hukum[2] menyebutkan restitusi berupa pemulihan; penggantian pengeluaran; ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Setelah mencermati apa itu restitusi sebagaimana di atas, sekarang kita beralih ke definisi kompensasi.

Apa itu Kompensasi?

Apa itu kompensasi? Kompensasi adalah bentuk ganti rugi yang diberikan negara kepada para korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris sesuai dengan kemampuan negara.

KBBI menyebutkan kompensasi sebagai berikut:

  1. ganti rugi
  2. pemberesan piutang dengan memberikan barang-barang yang seharga dengan utangnya
  3. pencarian kepuasan dalam suatu bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan dalam bidang lain
  4. n Man imbalan berupa uang atau bukan uang (natura), yang diberikan kepada karyawan dalam perusahaan atau organisasi
  5. n Psi tindakan individu dalam menilai dirinya dengan cara menggantikan kekurangan yang ia miliki dengan karakteristik lain yang berlebihan

Ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 31/2014) menyebutkan:

“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada Korban atau Keluarganya”.

Dari dua definisi apa itu restitusi dan apa itu kompensasi, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa: pertama, restitusi ditanggung oleh pelaku. Kedua, kompensasi ditanggung oleh negara apabila pelaku tidak mampu.

Hak Mendapatkan Restitusi

Setelah mengetahui definisi apa itu restitusi, sekarang membahas poin yang cukup penting, karena akan mengaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Bandung. Sehingga perlu kiranya membahas seperti apa kriteria pemberian restitusi dan kompensasi.

Dalam ketentuan Pasal 7A secara jelas menyebutkan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi dalam bentuk:

  1. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  2. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
  3. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Perlu diketahui bahwa menurut UU 31/2014, pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya[3].

Hak Mendapatkan Kompensasi

Sejak dari definisi memang terlihat perbedaan antara apa itu restitusi dengan kompensasi sebagaimana disebutkan di atas. Mengenai hak mendapatkan kompensasi, telah diatur pula dalam ketentuan Pasal 7 UU 31/2014.

Bahwa setiap Korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat dan Korban tindak pidana terorisme berhak atas Kompensasi. Kompensasi bagi Korban pelanggaran HAM yang berat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan HAM melalui LPSK.

Pelaksanaan pembayaran Kompensasi diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk Pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

Perlu diketahui bukan hanya hak-hak yang disebutkan di atas yang didapatkan korban. Akan tetapi, masih banyak hak lain misalnya memperoleh perlindungan dan keamanan.

Dari uraian apa itu restitusi dan hak-hak korban di atas, saatnya kita menghubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Bandung.

Putusan Pengadilan Negeri Bandung

Kita sudah mengetahui apa itu restitusi dan hak mendapatkan restitusi. Sekarang kita membahas tentang Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg, tanggal 15 Februari 2022, menjadi perdebatan hangat di media. Baik LPSK, ahli pidana, maupun Kementerian PPPA ikut angkat suara terkait dengan putusan tersebut.

Menjadi perdebatan karena salah satu amar putusannya, “Membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia sebesar Rp331 juta“.

Sebenarnya, apa alasan mendasar Majelis Hakim memutus—yang membebankan Kementerian PPPA?

Alangkah baiknya, kita membaca apa pertimbangan hukum, sehingga Majelis Hakim membebankan restitusi kepada Menteri PPPA. Berikut pertimbangan hukumnya:

Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg

Bahwa tentang tuntutan agar Terdakwa dibebani kewajiban untuk membayar restitusi sejumlah Rp.331.527.186,00 (tiga ratus tiga puluh satu juta lima ratus dua puluh tujuh ribu seratus delapan puluh enam rupiah) kepada Para Anak Korban yang telah mengajukan restitusi sebanyak 12 pengajuan restitusi, Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 67 KUHP, oleh karena terhadap Terdakwa telah dituntut pidana mati. Maka Terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana lainnya kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan hakim[4]”.

Jadi, Majelis Hakim berpandangan bahwa, sesuai ketentuan Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana , maka tidak dapat dijatuhi hukuman tambahan lagi. Berikut bunyi Pasal 67 KUHP:

Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim”.

Menimbang, bahwa tentang pembayaran restitusi keseluruhan sejumlah Rp.331.527.186,00 (tiga ratus tiga puluh satu juta lima ratus dua puluh tujuh ribu seratus delapan puluh enam rupiah). Oleh karena terhadap Terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban membayar restitusi, meskipun pembayaran restitusi merupakan hukuman tambahan. Namun Majelis Hakim berpendapat, bahwa pembayaran restitusi tersebut sudah di luar ketentuan tentang hukuman tambahan sebagaimana telah ditentukan Pasal 67 KUHP. Maka pembayaran restitusi harus dialihkan kepada pihak lain. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tidak disebutkan apabila Pelaku berhalangan atau tidak memungkinkan karena peraturan menentukan demikian, kepada siapa pembayaran restitusi harus dibebankan[5]”.

Dengan potongan alasan di atas, Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan:

“… bahwa Majelis Hakim berpendapat, oleh karena tugas Negara adalah melindungi dan mensejahterakan warga negaranya, Negara hadir untuk melindungi warga negaranya. Dalam perkara ini adalah para anak korban dan anak-anak dari anak korban. Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa adalah tepat apabila beban pembayaran restitusi diserahkan kepada Negara. Dalam hal ini pemerintah melalui kementerian yang tugasnya melindungi dan memberdayakan perempuan dan anak, dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembayaran restitusi sejumlah Rp.331.527.186,00 (tiga ratus tiga puluh satu juta lima ratus dua puluh tujuh ribu seratus delapan puluh enam rupiah) tersebut dibebankan kepada kementerian tersebut dalam DIPA tahun berjalan dan apabila tidak tersedia anggaran untuk itu dalam tahun berjalan, maka akan dianggarkan dalam DIPA tahun berikutnya[6]”.

Jadi, Sudah Tahu Kan, Apa itu Restitusi?

Dari pembahasan di atas, kita sudah mengetahui apa itu restitusi dan apa itu kompensasi. Namun dalam kesimpulan kali ini, saya tidak lagi mengulang definisi apa itu restitusi.

Setelah mencermati seluruh uraian pertimbangan hukum dalam putusan Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg dan peraturan yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban, Majelis Hakim tampak berhati-hati. Sebab, menurut ketentuan Pasal 67 KUHP, dilarang menjatuhkan pidana lain termasuk restitusi—karena terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup—atau dituntut hukuman mati.

Apakah ada ketentuan dalam Kementerian PPPA mengenai pembebanan restitusi terhadapnya? Setelah saya mencari berbagai referensi, tidak terdapat ketentuan dimaksud.

Saya menganggap, Majelis Hakim melakukan terobosan hukum, agar para korban tetap mendapatkan haknya. Meskipun tidak ada dalam Peraturan KPPPA yang mengatur tentang restitusi.

Di samping itu, tidak terdapat satu pun alasan meringankan , sebagai dasar penjatuhan pidana.

Demikian. Semoga bermanfaat.  


[1] Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

[2] M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, Penerbit Reality Publisher, Surabaya: 2009., hlm., 540-541.

[3] Lihat ketentuan Pasal 7A ayat (4) UU 31/2014.

[4] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg, tanggal 15 Februari 2022., hlm., 228.

[5] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg, tanggal 15 Februari 2022., hlm., 229-230.

[6] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg, tanggal 15 Februari 2022., hlm., 230.

Tinggalkan Balasan