Lompat ke konten

Ini Dia Aturan Cuti Pekerja (Buruh Berhak Cuti 12 Hari Kerja)

Bacaan 5 menit
aturan cuti pekerja atau buruh di indonesia

Pertanyaan: saya adalah seorang buruh yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Ketika saya ingin mengajukan cuti, tidak diberikan oleh atasan saya. Sebenarnya bagaimana aturan cuti pekerja di Indonesia?

Mungkin tidak sedikit dari kita yang kesulitan mendapatkan hak cuti dari perusahaan tempat kita bekerja. Sehingga pertanyaan di atas muncul: apakah ada aturan cuti pekerja?

Menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa setidaknya, ada dua kewajiban pengusaha dalam hal memberi istirahat kepada pekerja. Kewajiban dimaksud meliputi waktu istirahat dan cuti.

Untuk itu, artikel kali ini khusus membahas dan menjawab pertanyaan tentang aturan cuti pekerja, yang perlu diketahui pihak-pihak yang berkepentingan.

Sebelum membahas aturan cuti pekerja dan waktu istirahat buruh, terlebih dahulu mengulas tentang waktu kerja. Apakah ada ketentuan waktu kerja? Berapa jam batasannya? Simak ulasan berikut ini!

Ketentuan Waktu Kerja Pekerja/Buruh

Perlu dipahami bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Ketentuan waktu kerja dimaksud meliputi[1]:

  1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Di atas, terdapat dua pilihan waktu kerja, yang tentu saja dapat dipilih salah satunya. Bisa memilih poin 1 atau 2 tergantung kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

Namun demikian, ketentuan waktu kerja di atas tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu[2].

Apa yang dimaksud dengan “sektor usaha atau pekerjaan tertentu?” Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu , Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) menyebutkan:

Perusahaan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang menerapkan waktu kerja kurang dari ketentuan waktu kerja mempunyai karakteristik”:

  1. penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan kurang dari 35 (tiga puluh lima) jam 1 (satu) minggu;
  2. waktu kerja fleksibel; atau
  3. pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja.

Untuk itu, setiap pelaksanaan waktu kerja dan jam kerja bagi pekerja atau buruh yang dipekerjakan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang menetapkan waktu kerja kurang atau lebih harus diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Aturan Cuti Pekerja/Buruh

Di atas telah membahas waktu kerja. Di bawah ini mengulas tentang waktu istirahat pekerja atau buruh.

Waktu Istirahat Pekerja/Buruh

Waktu istirahat sebagaimana dimaksud Pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), menyebutkan bahwa Pengusaha wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:

  1. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
  2. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 22 PP 35/2021 juga menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh pada waktu kerja wajib memberi waktu istirahat mingguan kepada Pekerja/ Buruh meliputi:

  1. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  2. istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Sementara, waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana telah disebutkan di atas, dapat menerapkan waktu kerja yang kurang atau lebih dapat menerapkan waktu kerja yang kurang atau lebih.

Aturan Cuti Pekerja/Buruh

Di atas disinggung terkait dengan waktu istirahat pekerja atau buruh. Sekarang membahas tentang aturan cuti pekerja. Rujukan utama artikel ini adalah UU Cipta Kerja.

Cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus[3]. Pelaksanaan cuti tahunan dimaksud diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama[4].

Kemudian, terdapat ketentuan Pasal 187 UU Cipta Kerja yang menyebutkan:

  1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana di atas, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada[5].

Aturan Cuti Pekerja Perempuan

Terdapat aturan cuti pekerja khusus perempuan. Misalnya diatur dalam ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan ) menyebutkan:

Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”.

Di samping itu, pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan[6].

Bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan[7].

Namun demikian, berdasarkan draft resmi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak sebagaimana dikutip dari laman DPR R.I , terdapat pengaturan Pasal 4 ayat (2) huruf a sebagai berikut:

Setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan.”

Apabila rancangan undang-undang tersebut resmi berlaku, maka resmi pula berlaku ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling tidak selama 6 bulan.

Penutup

Aturan cuti pekerja atau buruh telah diatur sedemikian rupa. Untuk cuti tahunan misalnya, pekerja berhak mendapatkan paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.

Jadi, sudah tahu, kan aturan cuti pekerja/buruh?

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Lihat Ketentuan Pasal 77 ayat (2) UU Cipta Kerja.

[2] Lihat Ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU Cipta Kerja.

[3] Lihat Ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU Cipta Kerja.

[4] Lihat Ketentuan Pasal 79 ayat (4) UU Cipta Kerja.

[5] Lihat Ketentuan Pasal 79 ayat (5) UU Cipta Kerja beserta penjelasannya.

[6] Lihat Ketentuan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

[7] Lihat Ketentuan Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

Tinggalkan Balasan