Salah satu asas yang dikenal dalam sistem hukum di Indonesia adalah asas non-retroaktif. Namun demikian, masih banyak dari kita belum memahami apa itu asas non-retroaktif. Dan, diatur di mana asas serta mengapa berlaku di Indonesia.
Artikel kali ini, mencoba membahas apa itu asas non-retroaktif yang ditinjau dari peraturan perundang-undangan ↗ dan beberapa referensi lain yang terkait. Di samping itu, juga memberikan contoh penerapan asas dimaksud, sehingga dapat memahami secara mendalam.
Untuk itu, sebelum membahas tentang apa itu asas non-retroaktif, sebaiknya mengetahui apa itu asas?
Daftar Isi
Apa itu Asas?
Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip dari e-juornal ↗, … bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ↗ asas adalah:
- dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat): pada –nya, saya setuju dengan pendapat saudara
- dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi): sebelum memasuki suatu organisasi, kita harus tahu — dan tujuannya
- hukum dasar: tindakannya itu melanggar — kemanusiaan
Munawir A.W[1] mendefinisikan asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakkan dan pelaksanaan hukum
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asas adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum.[2]
Sekarang, kita membahas apa itu asas non-retroaktif?
Apa itu Asas Non-Retroaktif?
Asas non-retroaktif adalah asas yang mengandung arti suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan surut. Sebab, ada hal yang tidak boleh disimpangi dalam keadaan apa pun. Antara lain hak untuk tidak dituntut oleh aturan yang berlaku belakangan. Karena setiap produk perundang-undangan, berlaku sejak diundangkan.
Artinya, larangan pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang berlaku surut merupakan wujud sebuah perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga dan oleh siapa pun juga. Termasuk lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
Hak-hak berupa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
Dengan kata lain, memberlakukan produk perundang-undangan dengan cara berlaku surut, adalah hal yang tidak diperbolehkan.
Larangan Pemberlakuan Asas Non-Retroaktif dalam Peraturan Perundang-undangan
Beberapa peraturan perundang-undangan mengatur larangan penerapan asas non-retroaktif.
UUD 1945
Salah satunya terdapat dalam ketentuan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyebutkan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
KUHP
Di samping di atur dalam UUD 1945, larangan pemberlakuan asas non-retroaktif juga diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, yang berbunyi:
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana ↗ yang telah ada.”
UU Pengadilan HAM
Selain itu, pengaturan larangan pemberlakuan asas non-retroaktif ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan ↗ HAM menyebutkan:
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”
UU Administrasi Pemerintahan
Bukan hanya perundang-undangan saja yang dilarang diberlakukan surut. Namun juga, setiap keputusan atau tindakan pemerintahan tidak boleh berlaku surut. Hal ini ditentukan dalam Pasal 58 ayat (6) UU AP, yang berbunyi:
“Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan/atau terabaikannya hak Warga Masyarakat.”
Pengecualian terhadap Pemberlakuan Asas Non-Retroaktif
Meskipun terdapat larangan penerapan asas non-retroaktif, namun tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan pengecualian terhadap asas tersebut. Sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentu saja.
Pengecualian terhadap pemberlakuan asas non-retroaktif ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang berbunyi:
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
Demikian juga dalam terdapat pengecualian sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Penjelasan ketentuan Pasal 4 UU HAM menyebutkan:
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Dengan demikian, setiap produk perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan, tidak boleh belaku surut. Namun, ada pengecualian-pengecualian, yang juga harus tertuang dalam ketentuan dimaksud. Sehingga hak-hak untuk tidak dituntut dengan peraturan yang berlaku surut dapat terjamin.
Pengecualian sebagaimana dimaksud di atas, yang juga dituangkan dalam ketentuan misalnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.
Dalam Administrasi Pemerintahan, setiap keputusan tidak dapat berlaku surut. Namun demikian, terdapat pengecualian antara lain:
- Ditentukan lain dalam keputusan
- Ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar keputusan ↗;
- Untuk menghindari kerugian yang lebih besar
- Untuk menghindari terabaikannya hak warga masyarakat
Pengecualian sebagaimana di atas bersifat alternatif. Artinya, untuk menentukan apakah suatu keputusan dapat berlaku surut, tidak perlu semua hal-hal tersebut terpenuhi namun cukup satu hal saja yang terpenuhi maka suatu keputusan ↗ dapat berlaku surut.
Contoh Penerapan Asas Non-Retroaktif
Artikel ini memberikan satu contoh penerapan asas non-retroaktif dalam hukum administrasi. Khususnya administrasi pemerintahan di bidang kepegawaian.
Contoh I: Si A adalah PNS diberhentikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) selaku pejabat yang berwenang menghukum. Dalam Surat Keputusan (SK) pemberhentian si A sebagai PNS ↗ tersebut, menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatus Sipil Negara (UU ASN) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Padahal, si A melanggar aturan PNS sebelum berlakunya UU ASN dan PP Manajemen PNS. Dengan demikian, PPK yang memberhentikan si A dari PNS ↗, dengan menggunakan dasar UU ASN yang berlaku belakangan dibandingkan pelanggaran si A, maka PPK menerapkan asas non-retroaktif.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat telah mengetahui apa itu asas nonretroaktif. Asas nonretroaktif adalah asas yang melarang pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan berlaku surut.
Namun demikian, terdapat pengecualian-pengecualian penerapan asas ↗ tersebut. Yaitu pertama, dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”
Kedua, Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Munawir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, Surabaya: 1997., hlm., 44.
[2] M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, Cetakan I, Reality Publishing, Surabaya: 2009., hlm., 56.