Lompat ke konten

Penemuan Hukum oleh Hakim (Rechtsvinding) dan 4 Metode Penemuannya

Bacaan 5 menit
penemuan hukum oleh hakim atau rechtsvinding

Sebagai praktisi hukum, kita sering mendengar kata rechtsvinding. Kata tersebut populer karena kata lain dari penemuan hukum oleh hakim. Rechtsvinding ini, biasanya dikaitkan dengan ketentuan: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas.

Dari ketentuan tersebut, mensyaratkan bahwa Pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya meskipun tidak ada atau kurang jelas aturan hukumnya. Hal demikian dapat juga disebut sebagai diskresi hakim. Kemudian memberikan peluang besar untuk menemukan hukum oleh hakim.

Artikel kali ini membahas secara ringkas dan sederhana penemuan hukum oleh Hakim atau yang disebut Rechtsvinding.

Dasar Penemuan Hukum oleh Hakim (Rechtsvinding)

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menentukan:

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Selanjutnya, ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur:

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa Hakim sebagai “wakil” Tuhan di dunia, wajib menemukan hukum meskipun ketentuan hukum atas perkara yang diperiksanya kurang jelas atau tidak ada. Dengan kata lain, meskipun tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan, atau kabur, atau tidak jelas, Hakim dapat menggunakan diskresi. Diskresi ini disebut sebagai penemuan hukum oleh hakim.

Apa itu Rechtsvinding?

Mengutip laman Universitas Tanjungpura ,  Rechtsvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkret dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan.

Van Apeldorn menyatakan, seorang hakim dalam tugasnya melakukan pembentukan hukum harus memperhatikan dan teguh-teguh mendasari pada asas.

Dalam Kamus Hukum menyebutkan Rechtsvinding  adalah penemuan hukum; mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum. Pembentukan hukum diperoleh melalui proses penemuan hukum oleh hakim.[1]

Sementara Von Eikema Hommes mengatakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang  diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan yang bersifat  umum dengan mengingat peristiwa konkret.[2]

Jadi, secara sederhana, rechtsvinding adalah penemuan hukum oleh hakim melalui putusan-putusannya .

Penemuan Hukum oleh Hakim

Peraturan perundang-undangan terkadang tidak bisa mengatur semua kegiatan manusia. Karena produk perundang-undangan tidak ada yang lengkap dan sepenuhnya sempurna. Untuk itulah terdapat istilah penemuan hukum. Artinya, hukum tidak jelas dan tidak lengkap, harus dicari dan ditemukan.

Penemuan hukum, sebenarnya dapat dilakukan siapa saja. Misalnya peneliti, jaksa, polisi, advokat , dosen, notaris, dan hakim. Akan tetapi, paling banyak menemukan hukum adalah hakim—yang setiap waktu diperhadapkan dengan perkara. Penemuan hukum tersebut kemudian dituangkan dalam putusan—yang bisa jadi yurisprudensi.

Hakim dimungkinkan membentuk hukum, yang dapat diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkret. Tetapi mempunyai kekuatan yang berlaku umum. Jadi, suatu putusan dapat sekaligus mengandung dua unsur, yaitu di satu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret dan di pihak lain merupakan suatu peraturan hukum untuk waktu yang akan datang.[3]

4 Metode Penemuan Hukum oleh Hakim

Secara formil, yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakikatnya adalah: segala peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi , traktat dan doktrin.

Menurut von Savigny, hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaidah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.[4]

Anggapan bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan yang tertutup, pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa, hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu terus-menerus dalam suatu proses perkembangan. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.[5]

Dengan demikian dalam sistem hukum di Indonesia, hakim memiliki tugas untuk membentuk hukum melalui putusan yang dikeluarkannya dalam satu perkara tertentu.

Menurut Abdul Manan, Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis[6].

Sehingga, dalam pendapat selanjutnya, Abdul Manan menyebutkan bahwa dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan , Majelis Hakim dapat mencarinya melalui[7]:

1. Peraturan Perundang-undangan

Dalam rangka menemukan hukum, Hakim dapat mencarinya dalam kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis.

2. Kepala Adat dan Penasihat Agama

Hakim dapat juga mencarinya pada Kepala Adat dan Penasihat Agama sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 44 dan 15 Ordonansi Adat bagi hukum yang tidak tertulis.

3. Yurisprudensi

Sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan yang terdahulu itu. Hakim dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat tidak-benaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara,

4. Tulisan Ilmiah

Penemuan hukum oleh Hakim juga dapat diperoleh melalui tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu.

Penutup

Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui apa itu penemuan hukum oleh Hakim atau rechtsvinding. Serta pula mengetahui bahwa apabila dalam memutus perkara peraturannya kurang jelas, kabur, atau tidak ada, Hakim dapat mencarinya melalui yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.

Dari putusan-putusan Hakim tersebut, kemudian diharapkan bermanfaat bagi masyarakat, khususnya para pencari keadilan.

Demikian. Semoga bermanfaat


[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty Yogyakarta, cetakan pertama, Januari 2000, hlm., 37.

[2] van Apeldoorn, Pengantar llmu Hukum; Pradnya Paramita, Cet. ke-23, Desember 1986, Jakarta, hlm. 171.

[3] Sudikno, Penemuan Hukum, Liberty Yogyakarta, Cetakan Pertama,.  Januari 2000., hlm. 6.   

[4] Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 11.

[5] Ibid.

[6] Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, Jakarta: Juli 2003., hlm., 189.

[7] Abdu Manan, Ibid., hlm., 191.

Tinggalkan Balasan