Last Updated: 20 Mar 2022, 09:18 pm

Hari semakin panas. Pasir-pasir di pantai laksana kain putih yang bersih. Namun, di atasnya terdapat sampah-sampah yang menggunung rendah. Mataku melihat seperti ada kabut yang melayang di atas lautan biru nan mengilau akibat sengatan senja tua yang sebentar lagi akan berlabu ke belahan bumi lain. Jika saja tak ke tempat ini, kemungkinan aku bermimpi sesuatu yang aneh, entah apa.
Pada permulaan bulan di tahun yang berbeda, suasana menjadi gaduh ketika seorang tua meninggal akibat kepanasan. Aku tak tahu persis, tentunya, seorang lelaki tua itu. Hanya saja, kabar yang beredar, ia adalah pengemis jalanan yang selalu hadir di depan sebuah toko buku, di mana para orang tua, di awal tahun pelajaran baru di sekolah mengantar anak-anaknya membeli perlengkapan sekolah.
Hari ini, entah kenapa, aku tak mampu berpikir dan mengingat-ingat, apakah pernah berjumpa dengan seorang kakek di toko buku itu atau tidak sebelumnya. Dan, dalam waktu singkat, sang senja telah pergi.
Ini satu pengujian terhadap satu tindakanku tempo hari, yang mana setiap lengak-lengokku berjalan menghadirkan tatapan para lelaki seusiaku, atau paling tidak dua tahun di bawah usiaku, atau lebih dari usiaku—sampai-sampai mereka terjelembap ke parit yang bau busuk. Memang tak sengaja berjalan seperti itu, tetapi, juga tidak menyombongkan diri, bahwa bodi-ku luar biasa bahenol. Mata lelaki saja yang sedikit cabul memandangi.
Suatu waktu pula, beberapa tahun lalu, di mana bulan purnama menabrak bumi. Cahayanya tak pernah berhasil menembus sebuah pohon yang rindang, hijau, dan ketat-ketat—yang selalu membuat penghuni pohon itu marah karena tak kebagian cahaya.
Usiaku masih terbilang muda, ya memang, kalian tak bisa menyangkal itu. Tetapi, aku menjadi heran, kepercayaan diri semakin meningkat ketika selalu menjuarai kelas—dan tak ada yang bisa mengalahkan. Lagi-lagi tak bisa menyombongkan diri. Sebab, keangkuhan akan dikikiskan oleh takdir Tuhan yang paling kejam. Tuhan akan melaknat sampai tak sadarkan diri, atau tak mengenal diri sendiri karena gila. Mungkin! Sebab, gunung mana yang tak runtuh jika Tuhan menghendakinya? Laut mana yang tak meluap jika Tuhan menginginkannya! Manusia mana yang tak mati, jika itu adalah takdir-Nya.
Ya, ampun, lautan itu, tiba-tiba berubah menjadi melankolis yang memanjakan mata juga jiwaku. Diri ini seperti terbang ke nirwana, menembus ruang hampa dan menari-nari di atas awan, lalu terjun bersama bidadari-bidadari bersayap; bertemu dengan malaikat; dan berbincang-bincang sambil menikmati apel yang paling manis; meminum air zam-zam yang paling lezat; tidur di tempat yang bersih, sejuk, dan indah; serta mandi di kolam yang hanya aku saja berada di dalamnya.
Tetapi, ya ampun, ketika ombak itu menabrak tepiannya. Lalu menggulirkan butiran-butiran pasir yang putih, dengan hiasan-hiasan cahaya temaram yang tampak seperti api yang akan padam. Tubuhku mengengada, menuju ke sebuah tempat yang misterius dan tak ingin kedua kalinya ingin ke tempat ini. Sebab di dalamnya, ada banyak binatang-binatang buas yang ingin menerkam; bajing-bajing yang siap melompat memangsa; pohon-pohon yang besar dan dikelilingi ular-ular berbisa; semua itu ada di sini. Dan aku ingin pingsan. Sumpah!
Ponika, sahabat baikku, perempuan tomboi, yang menurutku ia cocok menjadi seorang wartawan sejati, tak mempan di sogok oleh siapa pun; memunculkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyolnya yang kadang berbelit-belit tetapi mengena pokok persoalan. Ia kini entah di mana. Aku tinggalkan sahabat terbaik itu di sebuah toko yang tak jauh dari tempat di mana kami tinggal. Di toko itu, ia akan mencari-cari sesuatu yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang akan dirangkum di otaknya—luar biasa itu.
Jika ingin memasuki toko itu, ia akan berjumpa dengan seorang kakek yang tampak setia bersama sang cucu, bertubuh dekil dan hitam. Padahal sang kakek putih walaupun rona-rona wajah tampak seperti ingin menggali kubur.
Tanpa berkata sepatah kata pun dalam hati, aku berbalik arah, karena waktu Magrib sudah tiba. Langkah demi langkah kuayunkan, dan dua orang nenek di trotoar jalan itu sudah tak Tampak. Mungkin mereka lelah, atau karena sudah malam, maka mereka harus pulang, yang entah di mana tempat tidur mereka, apakah nyaman atau tidak!
Aku sebetulnya merasa kasihan kepada nenek itu, dan sedikit menjengkeli anaknya yang tega meninggalkan ibunya yang sudah tua merenta. Mungkin dalam waktu dekat atau jauh di mana hari masih tetap berulang-ulang, dan angka-angka di kalender Masehi masih itu-itu saja, nenek itu akan termakan cacing-cacing di tanah berpasir.
Lampu-lampu di teras rumah sudah terang menderang. Lampu-lampu di jalan, baru separuhnya menyala, entah yang lain mati atau bagaimana. Yang jelas, beginilah kondisi kota yang sedang diterjang kemarau yang Tampak mengubah pola hidup masyarakat. Aku Tampak rela rupanya, bahwa telapak kaki membawaku ke sebuah masjid yang sudah mengumandangkan Kamat. Untuk usiaku, aku akan pasrahkan kepada Rabbi di atas sana. Dan di dalam masjid ini, aku akan berdoa sebagaimana doa-doa sebelumnya, dan setidaknya aku akan menambahkan beberapa bait sebagai hasil perenunganku di pantai tadi.
Bukan main kagetnya ketika melihat seisi masjid yang tua dan besar itu, hanya beberapa orang. Tampak terdengar nyaring suara Imam melantunkan ayat-ayat suci Alquran—merdu dan penuh hayat.
Seusai Shalat, tampaknya aku tak begitu gusar untuk mengangkat pantat ke suatu tempat di mana biasa berteduh dari segala rongrong sifat-sifat manusia yang serakah. Aku tetap berada di masjid yang usianya lebih tua dari kota ini. Dengan kubah yang canggih dan bintang buatan di atasnya—yang diapit oleh bulan setengah, lalu melengkung seperti mau roboh. Di bawahnya, beberapa buah corong—pengeras suara itu yang akan memanggil-manggil anak-anak muda dan orang tua yang sudah mau mati, untuk menghadap Illahi. Tetapi, tidak berlaku ketika ronai-ronai lagu dangdut menghiasi di setiap sudut-sudut kota yang panas.
Selama ada tempat mengeluh, aku akan mengeluh di bawah corong-corong itu—untuk mendorong mimpi-mimpi yang membuatku berperasaan baik.
Beberapa menit mentasbihkan niatku, yang melantun ke langit-langit kelabu, menyentuh relung-relung hati sang bocah yang lagi bersedih karena kelaparan; membangunkan ayam yang belum waktunya bangun dan membangunkan manusia, bahwa waktunya bangun dan bekerja sebagai manusia adanya. Dengan beberapa, bait-bait doa yang membuatku terharu adalah doa untuk ibu. Ibu yang selalu menyayangi dan memberikan motivasi agar menjadi orang yang berbakti untuk nusa dan bangsa. Entah melalui apa dan jalan yang seperti bagaimana. Selama ada waktu, lakukan! Lakukanlah! Begitu katanya dalam doa terbaiknya itu.
Di tengah perjalanan, seperti ada ilham yang menyentuh relung hatiku. Mengorek banyak kisah-kisah yang tadinya aku lupa dan nistai. Dengan mudahnya, kisah-kisah itu menyambar kembali otak-otak yang membeku. Dengan tiupan sepoi menabrak kulit, tampak sebuah cahaya melaju di bawah langit dan entah jatuh ke mana. Pada titik itu, aku meminta sesuatu, bahwa tak ada yang mati kelaparan di negeri ini. Lebih khusus di kota yang dahulu tumbuhan yang tumbuh hanyalah pohon-pohon kaktus yang berduri tajam nan kecil-kecil. Jika menusuk kulit dan tidak segera di cabut, maka berpotensi untuk masuk ke daging dan mengalir ke mana pun darah mengalir. Dan pada titik itu, bisa-bisa manusia mati. Dan aku tak inginkan juga hal itu.
Sebenarnya ada seonggok problem, di mana Ponika berkata padaku, bahwa ia pernah bermimpi Mangge Robuka akan meninggal. Mimpi dikatakannya seperti bergurau di suatu pagi yang sepi dan berembun, tetapi aku menganggapnya hanya sebuah lelucon yang tak lucu, tentunya. Aku biarkan ia terus mengaung dan terus berkata, bahwa sebaiknya diberitahukan kepada Mangge Robuka, agar hari-harinya dalam beraktivitas harus berhati-hati. Lagi-lagi itu adalah lelucon yang tak bisa membuatku terbahak-bahak.
Sekarang, kuberitahukan padanya, jika kau terlebih dahulu mati dari Mangge Robuka, bagaimana? Lantas ia menjawab, bahwa itu adalah takdir. Sudah barang tentu itu adalah takdir, lantas kenapa mimpinya yang tidak lucu itu diberitahukan kepada orang yang dimimpikannya? Bukankah mimpi hanyalah bunga-bunga tidur? Dan ketika mimpi buruk itu adalah mimpi bunga kaktus?
Lidahku seperti kaku ketika ingin mengatakan sesuatu hal yang hingga saat ini aku lupa. Bahkan Ponika sendiri ingin mengatakan sesuatu kepadaku, ia mengatakan bahwa ia juga lupa.
Tetapi lagi-lagi keilhaman menerobos di relung hati dan otak kami, bahwa semua kelupaan itu disebabkan oleh tidak-fokusan manusia atas sesuatu hal. Coba memaksa mengingat di suatu tempat yang membuat nyaman, maka hal itu akan diingat kembali. Dan ketika aku melakukannya, bersama Ponika, gadis mungil itu, betul adanya.
Antara diriku dan dirinya, seperti sebuah mata pisau. Berbeda tetapi tetap satu. Tak bisa dipisahkan dalam ruang dan waktu. Yang bisa memisahkan lagi-lagi, Tuhan. Sang kekasih baginda Muhammad.
Ah, aku tak mau berpisah dengannya. Sampai mati. Bahkan sampai kota ini tak dianugerahi triliunan titik hujan. Antara aku dan dia—adalah sepasang sahabat—punyai mimpi yang berbeda—diwujudkan bersama-sama.
Selanjutnya baca Bagian ke empat belas