Baru-baru ini, sebagaimana tersebar di berbagai media, Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia berniat untuk mendeklarasikan Jokowi 3 Periode. Seperti dilansir Tempo.co ↗.
Niat tersebut ditanggapi berbagai pihak. Termasuk di antaranya anggota DPR ↗. Artikel ini juga menanggapi situasi tersebut—dengan membangun sebuah pertanyaan: bolehkah Kepala Desa berpolitik praktis?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu saja berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daftar Isi
Bolehkah Kepala Desa Berpolitik Praktis?
Seperti yang kita tahu, pemilihan umum (Pemilu) akan dilangsungkan pada 2024. Namun, ada beberapa pihak yang menginginkan Presiden Jokowi menjabat tiga periode ↗. Termasuk rencana oleh para Kepala Desa seluruh Indonesia. Hal demikian, banyak yang menentang, karena menganggap “makar demokrasi”.
Sebab, dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) telah tegas mengatur, untuk masa jabatan Presiden hanya 2 periode saja. Coba lihat ketentuan Pasal 7 UUD 1945 ini:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.“
Dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, masing-masing pihak memiliki peran. Misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas untuk mengadakan Pemilu. Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pemilu oleh KPU.
Selain itu, ada pihak-pihak yang tidak diperbolehkan untuk terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas politik praktis. Di antaranya Aparatur Sipil Negara (ASN) ↗, pejabat negara, pegawai BUMN, hingga Kepala Desa.
Pertanyaannya: Bolehkah Kepala Desa berpolitik praktis? Atau bagaimana hukumnya rencana mendeklarasikan Presiden Jokowi 3 Periode? Apakah ada peraturan perundang-undangan yang melarang hal tersebut?
Untuk itu, mari simak hal-hal di bawah ini.
Pengaturan tentang Kepala Desa dan Pemilu
Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepala Desa. Di samping itu, terdapat juga ketentuan yang mengatur tentang Pemilu—namun mengatur pula larangan Kepala Desa dan Perangkat Desa ↗ di dalamnya.
Sebut saja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Undang-undang ini secara spesifik mengatur tentang desa, Kepala Desa, hingga Perangkat Desa.
Di bawahnya, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (PP Desa).
Di samping itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Apa itu Politik Praktis?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ↗, politik praktis adalah kehidupan politik secara nyata: saya bukan politisi, sehingga tidak bisa mendalami — praktis.
Mengutip Voi.id ↗, pengertian politik praktis yakni sebuah dunia dikala semua itikad, motif, kepentingan, dan tekad, hadir beriringan dan saling berhimpit untuk memperebutkan kekuasaan. Secara kasat mata, kekuasaan yang dimaksud tidak lain merupakan jabatan, kedudukan atau posisi. Tetapi secara implisit, yang diperebutkan hakikatnya yaitu otoritas dan wewenang untuk membikin keputusan-keputusan publik.
Apa itu Kepala Desa?
Kepala Desa menurut KBBI ↗ adalah orang yang mengepalai desa; lurah.
Sementara kepala Desa menurut UU Desa adalah Pemerintah Desa yang dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
Bolehkah Kepala Desa Berpolitik Praktis?
Setelah mengetahui apa itu politik praktis di atas—kemudian dikaitkan dengan pembahasan: apakah ada larangan Kepala Desa berpolitik praktis?
Mari kita urai pelan-pelan melalui larangan-larangan Kepala Desa.
Larangan Kepala Desa Berpolitik Praktis dalam UU Desa
Menurut ketentuan Pasal 29 UU Desa, terdapat beberapa larangan Kepala Desa. Untuk yang terkait dengan Pemilu atau politik praktis, terdapat dalam huruf g dan j. Sementara untuk membuat keputusan yang menguntungkan golongan tertentu terdapat dalam huruf b. Lengkapnya Kepala Desa dilarang:
- merugikan kepentingan umum;
- membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
- menyalahgunakan wewenang ↗, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
- melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
- melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
- melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
- menjadi pengurus partai politik;
- menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
- merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
- ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
- melanggar sumpah/janji jabatan; dan
- meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 16 PP Desa, Kepala Desa dilarang sebagaimana diatur huruf a dan d:
“Menjadi Pengurus Partai Politik.”
“Terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.”
Dari uraian ketentuan Pasal 29 UU Desa di atas, poin yang perlu digarisbawahi terhadap niat deklarasi dimaksud adalah huruf b:
“Dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.”
Larangan Kepala Desa Berpolitik Praktis dalam UU Pemilu
Bukan hanya dalam UU Desa mengatur tentang larangan-larangan Kepala Desa berpolitik praktis. Namun, larangan tersebut juga tertuang dalam UU Pemilu.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 280 ayat (2) huruf (i) UU Pemilu. Bukan hanya kepala desa, namun juga perangkat desa hingga anggota badan permusyawaratan desa.
Selanjutnya ketentuan Pasal 280 ayat (3) menentukan bahwa setiap orang sebagaimana disebut pada Pasal 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
Di samping itu, terdapat juga ketentuan Pasal 282 UU Pemilu yang berbunyi:
“Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.”
Mencermati ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak diberbolehkan Kepala Desa berpolitik praktis.
Sanksi Menanti Bagi Kepala Desa Berpolitik Praktis
Apabila ternyata Kepala Desa berpolitik praktis, maka terdapat ketentuan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 UU Desa:
- Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
- Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Selain itu, terdapat ketentuan pidana ↗ bagi Kepala Desa berpolitik praktis, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu:
“Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)[1].”
“Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) [2].”
Rencana Deklarasi Presiden 3 Periode
Mencermati definisi politik praktis KBBI yaitu “kehidupan politik secara nyata”, yang dihubungkan dengan beberapa ketentuan di atas. Maka, rencana deklarasi untuk perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi adalah tindakan atau keputusan politik secara nyata.
Dan, apabila rencana tersebut secara faktual terjadi, maka diduga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan ↗ yang berlaku sebagaimana di atas.
Untuk itu, sebaiknya para Kepala Desa mengurungkan niatnya deklarasi tersebut. Sebab, selain masa jabatan Presiden telah dibatasi oleh konstitusi, juga berpotensi melanggar ketentuan.
Penutup
Sebagai penutup artikel ini, dapat disimpulkan, tidak diperbolehkan Kepala Desa berpolitik praktis. Termasuk di antaranya membuat keputusan atau tindakan rencana deklarasi Presiden 3 periode.
Dengan kata lain, Kepala Desa tidak boleh berpolitik praktis.
Jadi, Sudah Tahu Jawaban Kepala Desa Berpolitik Praktis?
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Lihat Ketentuan Pasal 490 UU Pemilu.
[2] Lihat Ketentuan Pasal 494 UU Pemilu.