Di Indonesia, begitu banyak perkawinan ↗ berbeda agama. Baik kedudukan suami sebagai Islam atau sebaliknya Istri yang beragama Islam. Meskipun ulama mengatakan bahwa perkawinan beda agama tersebut tidak diperbolehkan. Namun faktanya, perkawinan beda agama masih banyak terjadi, dan membangun rumah tangga mereka.
Namun demikian, bagaimana dengan hak waris istri yang berbeda agama dengan suami? Atau sebaliknya, bagaimana hak waris suami yang berbeda agama dengan istrinya? Apakah hak waris tersebut dimungkinkan?
Artikel kali ini membahas tentang hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. Pembahasan dilakukan didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung. Yurisprudensi ↗ Mahkamah Agung sebagaimana akan dijelaskan di bawah, “membenarkan” hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. “pembenaran” tersebut disebut sebagai Wasiat Wajibah.
Daftar Isi
Apa itu Wasiat?
Sebelum membahas tentang wasiat wajibah, terlebih dahulu memahami apa itu wasiat.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia[1].
Wasiat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ↗ adalah pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dan sebagainya).
Apa itu Wasiat Wajibah?
Mengenai wasiat wajibah sendiri, diatur melalui ketentuan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selengkapnya berbunyi:
- Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
- Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan definisi wasiat wajibah. Namun, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah adalah pemberian harta peninggalan terhadap anak angkat ↗ yang tidak diberi wasiat.
Menurut Mardani[2], wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa, atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Andi Samsu Alam dan M. Fauzan[3] menyebutkan bahwa, wasiat wajibah adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya dengan jumlah maksimal 1/3.
Dari uraian di atas, ternyata wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi anak angkat atau orang tua angkat. Tidak menyebutkan pasangan suami-istri yang berbeda agama.
Pihak dan Penghalang Sebagai Ahli Waris
Pasal 171 huruf c KHI menyebutkan: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf c KHI di atas, yang juga telah termuat dalam artikel Ahli Waris, Golongan, dan Pembagian Harta Warisan ↗ bahwa, terdapat dua golongan sebagai ahli waris. Pertama, mempunyai hubungan darah yaitu anak, ayah kandung, ibu kandung, saudara laki-laki atau perempuan seibu, saudara perempuan kandung atau seayah, saudara laki-laki kandung atau seayah, dan cucu atau keponakan. Kedua, menurut hubungan perkawinan yaitu istri/janda dan suami/duda.
Namun demikian, dalam ketentuan tersebut menyebutkan “tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Menurut beberapa referensi, salah satu yang menjadi penghalang menjadi ahli waris adalah adanya perbedaan agama. Artinya, salah satu pihak beragama selain Islam.
Dengan kata lain, suami atau istri, orang tua, bahkan anak yang tidak beragama Islam, tidak dapat menjadi ahli waris dari pewaris yang beragama Islam.
Hak Waris Istri yang Berbeda Agama dengan Suami
Sekarang, kita membahas tentang hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. Dalam perspektif peraturan perundang-undangan ↗, tidak menyebutkan hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. Pada akhirnya, artikel ini merujuk kepada yurisprudensi Mahkamah Agung ↗.
Yurisprudensi tentang Hak Waris Istri yang Berbeda Agama dengan Suami
Artikel ini mengutip setidaknya dua putusan Mahkamah Agung terkait dengan hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. Begitu pun sebaliknya, hak waris suami non-Muslim. Simak dua putusan ↗ dimaksud berikut ini:
1. Putusan Nomor 16 K/AG/2010
Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16 K/AG/2010, tanggal 30 April 2010, hakim melakukan terobosan hukum. Sebab, dalam ketentuan khususnya KHI hanya mengatur wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat. Namun dalam putusan ini, hakim memberikan hak waris istri yang berbeda agama dengan Suami.
Dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan:
“Perkawinan pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun. Berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris. Karena itu, walaupun Pemohon Kasasi non-Muslim, layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku istri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai rasa keadilan.”
Menurut Mahkamah Agung, persoalan kedudukan ahli waris non-Muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama, di antaranya ulama Yusuf Al Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non-Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi. Demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai, meskipun berbeda keyakinan. Karena itu, patut dan layak Pemohon Kasasi ↗ memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah.
2. Putusan Nomor 332 K/AG/2018
Wasiat wajibah ini bukan hanya untuk istri yang berbeda agama dengan suami. Namun, berlaku juga untuk suami yang non-Muslim. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/AG/2018.
Putusan tersebut pada pokoknya menyebutkan bahwa Kedudukan suami non-Muslim masih berhak menikmati harta peninggalan istrinya berdasarkan wasiat wajibah. Dengan besaran 1⁄4 dari harta peninggalan pewaris. Hal tersebut berlandaskan, suami yang non-Muslim selalu mendampingi dan menemani pewaris semasa hidupnya. Bahkan menemani dan merawat saat pewaris dalam kondisi sakit.
Penutup
Dalam ketentuan yang ada, wasiat wajibah hanya dimungkinkan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Apabila orang tua angkat atau anak angkat tidak menerima wasiat, maka mereka dapat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan.
Sementara dalam KHI tidak menentukan hak waris istri yang berbeda agama dengan suami. Namun, berdasarkan putusan Mahkamah Agung di atas, istri non-Muslim—yang artinya terhalang sebagai ahli waris, tetap mendapatkan warisan melalui Wasiat Wajibah.
Namun demikian, wasiat wajibah tidak serta merta berlaku otomatis. Harus diajukan melalui Pengadilan Agama ↗.
Jadi, sudah tahu, kan ada hak waris istri yang berbeda agama dengan suami?
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Lihat Ketentuan Pasal 171 huruf (f) KHI.
[2] Mardani, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2014., hlm., 120.
[3] Andi Samsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Penerbit Pena, Jakarta: 2008., hlm., 80-81.