Salah satu kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) ↗ adalah memeriksa dan mengadili sengketa tanah. Sengketa tanah dimaksud berupa sertifikat tanah sebagai objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun, tidak semua sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN. Ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi—yang antara lain dapat dilihat dari asal-usul sertifikat tanah dimaksud.
Untuk itu, artikel ini hendak membahas tentang sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN. Sertifikat tanah dimaksud ditinjau dari asal-usul penerbitan sertifikat. Sehingga dari asal-usul ini dapat dianalisis apakah sertifikat tersebut menjadi kewenangan PTUN ↗ atau tidak.
Daftar Isi
Sertifikat Tanah sebagai Objek Sengketa di PTUN
Sengketa yang menyangkut sertifikat tanah, menjadi kewenangan PTUN, karena diterbitkan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kepala Kantor BPN merupakan pejabat tata usaha negara. Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun):
“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kewenangan pemberian sertifikat tanah oleh BPN juga diatur melalui ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara:
- Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri.
- Pemberian dan Pembatalan hak sebagaimana di atas, Menteri dapat melimpahkan kewenangannya ↗ kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan, dan Pejabat yang ditunjuk.
Namun demikian, meskipun Kepala BPN merupakan pejabat tata usaha negara, tidak semua sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN. Untuk mengetahuinya, dapat dilihat dari asal-usul sertifikat tanah dimaksud.
3 Asas-usul Sertifikat Tanah
Secara umum, terdapat 3 asal-usul sertifikat tanah. Asal-usul ini akan menentukan pengadilan mana yang berwenang mengadili apabila terdapat sengketa. Sebab-sebab munculnya sertifikat tanah dimaksud antara lain:
- Melalui Konversi Tanah
- Melalui Peralihan Hak
- Melalui Pemberian Hak
Dari ketiga asal-usul sertifikat tanah ↗ tersebut, akan terjawab poin mana saja yang menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.
Untuk itu, mari kita bahas satu persatu.
1. Melalui Konversi Tanah
Sebelum membahas konversi tanah, sebaiknya mengetahui apa itu konversi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ↗, konversi adalah:
- n perubahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem yang lain
- n perubahan pemilikan atas suatu benda, tanah, dan sebagainya
- n perubahan dari satu bentuk (rupa, dan sebagainya) ke bentuk (rupa, dan sebagainya) yang lain
- n Komp proses perubahan dari satu bentuk atau format ke bentuk atau format yang lain
- n Ling pengalihan kata dari kategori gramatikal satu ke kategori gramatikal lain tanpa perubahan bentuk (seperti kata kubur dalam “Ia berziarah ke kubur ayahnya” dan “Segera kubur bangkai itu!”)
Dengan demikian, konversi tanah adalah perubahan kepemilikan atas tanah.
Asal usul sertifikat tanah yang pertama adalah melalui konversi tanah. Sertifikat ini diterbitkan karena peralihan dari hak milik adat atau hak-hak barat atau dalam bentuk penamaan lain sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Artinya, perubahan status menjadi hak milik dilakukan berdasarkan UUPA. Dengan kata lain, si penguasa tanah dimaksud dapat melakukan mekanisme konversi sebagaimana yang ditentukan peraturan perundang-undangan ↗ yang berlaku. Dari hasil konversi tersebut kemudian mendapatkan sertifikat tanah atas nama yang bersangkutan.
Mengenai sertifikat yang berasal dari konversi tanah ini, apabila terjadi sengketa di pengadilan, maka paling layak adalah diajukan ke Pengadilan Negeri. Mengapa demikian? Sebab, potensi sengketa ini cukup besar mengandung sengketa kepemilikan.
2. Melalui Peralihan Hak
Asal-usul tanah bisa juga didapatkan melalui peralihan hak. Apa itu peralihan hak? Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang berakibat pada pemindahan hak atas tanah dari subjek hukum satu ke subjek hukum lainnya.
Artinya, sertifikat yang dialihkan haknya bukanlah milik si pemohon. Melainkan pemilik sebelumnya. Kepemilikan peralihan hak dapat berupa transaksi jual beli yang dilakukan oleh pembeli dan penjual atas dasar perjanjian ↗ atau kesepakatan bersama atas objek tanah. Di samping itu, peralihan hak juga dapat berbentuk hibah.
Mengenai asal-usul tanah melalui peralihan hak ini, biasanya menggunakan pihak ketiga yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebab, dalam melakukan jual beli atau hibah dilangsungkan oleh dan di hadapan PPAT.
Mengapa harus AJB harus di hadapan PPAT? Sebab, berdasarkan Akta dari PPAT, kemudian dilanjutkan proses ke Kantor Badan Pertanahan untuk mengubah status kepemilikan dari si A ke si B, misalnya.
Mari kita hubungkan antara peralihan hak melalui jual beli dengan sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN.
Sertifikat tanah diterbitkan oleh BPN atas dasar AJB dari PPAT. Apabila diajukan gugatan ke PTUN, maka baik langsung maupun tidak langsung akan bersentuhan dengan AJB PPAT tersebut. Dengan kata lain, proses peralihan didasarkan pada adanya AJB. Sehingga, pemeriksaan di persidangan ↗ pun akan merujuk ke AJB dimaksud.
Jika terjadi demikian, maka pemeriksaannya bukan lagi mengenai prosedur dan substansi penerbitan sertifikat. Akan tetapi, pengujian sah atau tidaknya AJB dimaksud atau hal-hal lain. Sehingga, hal demikian bukan lagi kewenangan PTUN, melainkan kewenangan Pengadilan Negeri ↗.
3. Melalui Pemberian Hak
Di samping dua hal di atas, terdapat juga asal-usul tanah yang melalui pemberian hak. Maksudnya adalah Sertifikat diterbitkan setelah melalui “pemberian hak” atas tanah yang dikuasai oleh negara.
Proses penerbitan sertifikat melalui pemberian hak sebagaimana dimaksud melalui verifikasi data fisik dan data yuridis dari pemohon sertifikat. Bukan hanya itu, masih banyak persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh pemohon.
Berdasarkan permohonan tersebut—yang persyaratannya telah terpenuhi, akan diterbitkan keputusan pemberian hak oleh BPN.
Oleh karena melalui prosedur-prosedur yang panjang dalam pemberian haknya, maka berpotensi merugikan pihak ketiga. Kemudian, apabila terjadi sengketa, dapat dinilai dari segi kewenangan ↗, prosedur, hingga substansi penerbitan sertifikat. Maka dengan demikian, untuk poin ketiga ini, sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN lebih potensial. Sebab, masuk kewenangan PTUN.
Sertifikat Tanah sebagai Objek Sengketa di PTUN
Dari ketiga asal-usul tanah di atas, yang potensial sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN adalah melalui pemberian hak. Sebab, sebelum diterbitkan sertifikat tanah, dilakukan proses yang panjang. Dalam proses tersebut berpotensi dilakukan tidak sesuai prosedur, wewenang, dan substansi.
Sehingga, berpotensi pula adanya pihak ketiga ↗ yang dirugikan atas terbitnya sertifikat tanah dimaksud. Dan apabila terjadi demikian, maka hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan TUN untuk mengujinya.
Penutup
Dari uraian di atas, tidak semua sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN. Yang mesti dilihat dan dicermati adalah asal-usul penerbitan sertifikat tanah dimaksud.
Paling potensial, sertifikat tanah sebagai objek sengketa di PTUN adalah melalui pemberian hak. Sebab, dapat ditinjau baik dari segi wewenang, prosedur, dan substansi.
Demikian. Semoga bermanfaat.
Hallo kak, saya mau bertanya jika ada sengketa kepemilikan ganda yaitu sertipikat nya ada 2 dengan berbeda pemilik, itu menjadi kewenangan PTUN juga atau bagaimana ya kak?
jika menjadi kewenangan PTUN, lalu hal tersebut apakah menjadi ranah NTN atau perdata ya kak?
terima kasih
Halo.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Apabila terdapat 2 sertifikat pada 2 orang yang berbeda, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sertifikat lainnya melalui BPN setempat. Apabila di BPN tidak mengabulkan, dapat diajukan sengketa ke PTUN.
Sebelum mengajukan gugatan ke PTUN, wajib melakukan upaya administratif berupa keberatan dan banding administrasi.