Lompat ke konten

Apa Perbedaan Gugatan dengan Permohonan?

Bacaan 7 menit

Last Updated: 13 Mar 2022, 10:57 pm

apa perbedaan gugatan dengan permohonan

Pertanyaan: saya sering mendengar gugatan dan permohonan, sebenarnya apa sih perbedaan gugatan dan permohonan itu?

Dalam bersengketa baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama, kita sering mendengar gugatan dan permohonan. Gugatan dan permohonan adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan keduanya mencakup banyak hal, termasuk proses persidangan .

Itulah alasannya saya menulis artikel ini untuk menjawab pertanyaan apa perbedaan gugatan dengan permohonan.

Namun sebelum menyentuh pada substansi pertanyaan, sebaiknya terlebih dahulu membahas tentang kewenangan masing-masing pengadilan yang ada di Indonesia. Hal ini penting, agar kita lebih jauh memahami perbedaan gugatan dengan permohonan.

Dalam artikel jenis pengadilan di Indonesia , saya sudah mengurai kewenangan badan peradilan. Saya kembali mengutip secara ringkas sebagaimana di bawah ini.

Kewenangan Peradilan Umum

Yang pertama adalah kewenangan Peradilan Umum. Sebagaimana yang kita tahu bersama bahwa Peradilan Umum memiliki wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata.

Peradilan umum mencakup Pengadilan Negeri—yang bisa disebut sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. Sementara Pengadilan Tinggi disebut sebagai Pengadilan Tingkat Banding.

Sebagaimana di atas, salah satu kewenangan Pengadilan Negeri adalah menyelesaikan permasalahan perdata. Permasalahan perdata tersebut terdiri dari dua bentuk: pertama, gugatan. kedua, permohonan.

Dahulu permohonan atau gugatan voluntair diatur melalui ketentuan Pasal 2 beserta penjelasan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU 14/1970).

UU 14/1970 ini akhirnya diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, tidak lagi mengatur tentang voluntair. Akan tetapi, hingga saat ini, Pengadilan Negeri masih relevan dalam penyelesaian perkara voluntair.

Kewenangan Peradilan Agama

Pengadilan Agama, merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam.

Perkara tersebut antara lain di bidang perkawinan , kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah, dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Termasuk kewenangan Pengadilan Agama yaitu memeriksa dan mengadili perkara permohonan sepanjang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Permohonan dimaksud diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama di tempat tinggal Pemohon secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.

Ada beberapa jenis permohonan di Pengadilan Agama . Salah satu di antaranya adalah permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum berumur 18 tahun.

Kewenangan Peradilan TUN 

Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Selain menyelesaikan perkara gugatan antara warga masyarakat dengan pejabat TUN, kewenangan PTUN lainnya adalah memeriksa dan mengadili perkara permohonan.

Permohonan tersebut dikenal dengan Fiktif Positif . Akan tetapi, pasca berlakunya UU Cipta Kerja, pengadilan TUN sudah tidak berwenang mengadilinya.

Kewenangan Peradilan Militer

Dalam artikel jenis Pengadilan di Indonesia telah menyebutkan bahwa Peradilan militer hanya menangani perkara pidana dan sengketa tata usaha bagi kalangan militer. Badan yang menjalankan terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama.

Pengadilan Militer adalah pengadilan tingkat pertama bagi perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten atau di bawahnya. Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding untuk putusan Pengadilan Militer, sekaligus pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana dengan terdakwa berpangkat Mayor atau di atasnya.

Perbedaan Gugatan dengan Permohonan

Sekarang, kita kembali ke substansi pertanyaan: apa perbedaan gugatan dengan permohonan. Kita akan pelan-pelan mengulasnya dengan mengutip dari berbagai sumber, sehingga dapat mengetahui apa perbedaan mendasar antara keduanya.

Untuk memahami perbedaan gugatan dengan permohonan, mesti mengetahui definisi dari keduanya.

Apa itu Gugatan?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI ) mendefinisikan gugatan sebagai:

  1. Tuntutan
  2. Celaan; kritikan; sanggahan
  3. Tuntutan yang diajukan oleh satu pihak yang merasa haknya dilanggar kepada pihak lain.

Sementara dalam Kamus Hukum mengartikan, gugatan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan orang untuk menuntut haknya terhadap orang lain di depan pengadilan.

Selain menurut dua Kamus Bahasa dan Kamus Hukum, beberapa ahli memberikan pendapatnya tentang definisi gugatan.

Sudikno Mertokusumo, misalnya, mendefinisikan gugatan sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vodering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.

Sementara Retnowulan Sutantio mendefinisikan, gugatan harus ada seorang atau lebih yang merasa haknya telah dilanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar haknya tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu.

Secara sederhana, gugatan adalah suatu tuntutan satu pihak atau lebih kepada pihak lain karena haknya dilanggar, yang diajukan kepada Ketua Pengadilan.

Menurut M. Yahya Harahap[1], perkara gugatan biasa juga disebut sebagai contentiosa. Contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa latin. Salah satu dari perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut yurisdiksi contentiosa atau contentiosa jurisdiction. Yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters) antara pihak yang bersengketa (between contending parties).

Dengan kata lain, gugatan mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan. Sehingga dengan adanya sengketa para pihak tersebut kemudian ada hukum acara yang mengatur jawab-menjawab.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa gugatan mengandung sengketa atau satu pihak dengan pihak lain yang diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Apa itu Permohonan?

KBBI mendefinisikan permohonan sebagai:

  1. permintaan kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya dan sebagainya: ~ sudah diajukan kepada Bapak Gubernur
  2. lamaran (pekerjaan dan sebagainya): ia mengajukan ~ kepada kepala bagian personalia kantor itu
  3. tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan kepada pihak lain atas suatu hak yang tidak mengandung sengketa.

Yahya Harahap[2] mengatakan bahwa, permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditanda tangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.

5 Perbedaan Gugatan dengan Permohonan

Setidaknya, terdapat empat perbedaan gugatan dengan permohonan. Keempatnya dapat dilihat sebagai berikut:

1. Permasalahan Hukum

Perbedaan gugatan dengan permohonan dapat dilihat dari permasalahan hukum yang harus diselesaikan. Untuk perkara perdata, permasalahan hukum yang diajukan mengandung sengketa.

Sementara untuk perkara permohonan, diajukan untuk kepentingan sepihak saja.

2. Ada dan Tidak Adanya Sengketa

Perbedaan gugatan dengan permohonan yang selanjutnya adalah terkait dengan sengketa.

Untuk gugatan, diajukan ke pengadilan karena terjadi sengketa di antara para pihak. Baik dua pihak atau lebih. Sementara permohonan, permasalahan yang dimohon penyelesaian kepada Pengadilan Negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain.

3. Proses Pemeriksaan

Proses Pemeriksaan Gugatan

Perbedaan gugatan dengan permohonan bisa dilihat dari proses pemeriksaan. Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir). Artinya, para pihak diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk membantah dalil.

Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion).

Namun demikian, terdapat pengecualian—tidak berlaku proses sanggah-menyanggah ini—yaitu ketika pihak lawan tidak pernah hadir di persidangan. Hal ini dapat disebut sebagai verstek atau tanpa bantahan.

Setelah itu, proses selanjutnya adalah pemeriksaan bukti surat dan saksi para pihak, yang dilanjutkan dengan simpulan. Terakhir, hakim menentukan sikap melalui putusan.

Proses Pemeriksaan Permohonan

Berbeda dengan proses pemeriksaan gugatan, untuk permohonan dilakukan secara ex parte. Artinya, untuk memeriksa dan mengadilinya bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon. Di samping itu, memeriksa bukti surat dan saksi dari pemohon.

Dengan kata lain, proses pemeriksaan permohonan tidak memerlukan adanya jawab menjawab seperti jawaban, replik, duplik, hingga simpulan. Ketika selesai memeriksa permohonan, bukti, dan saksi, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan.

4. Perbedaan Gugatan dengan Permohonan Dilihat dari Ciri Khas

Perbedaan gugatan dengan permohonan lainnya adalah dapat dilihat dari ciri khas.

Menurut M. Yahya Harahap[3], ada perbedaan gugatan dengan permohonan. Dapat kita lihat dalam ciri khas sebagai berikut:

Ciri Khas Gugatan

  1. Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung unsur sengketa.
  2. Terjadi sengketa di antara seseorang atau badang hukum dengan seseorang atau badan hukum lainnya. Dengan kata lain, ada dua pihak atau lebih.
  3. Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
  4. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
  5. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
  6. Para pihak disebut penggugat dan tergugat.

Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair

  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja.
  2. Permasalahan yang dimohon kepada pengadilan pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain.
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak.
  4. Yang mengajukan permohonan disebut sebagai Pemohon.

5. Produk Pengadilan

Dalam akhir persidangan, hakim akan menentukan sikapnya dan dituangkan dalam produk pengadilan. Produk pengadilan dimaksud tentu saja terdapat perbedaan gugatan dengan permohonan.

Hasil akhir untuk gugatan, Hakim mengeluarkan putusan untuk dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.

Sementara untuk perkara permohonan, hakim mengeluarkan penetapan.

Simpulan

Secara garis besar, terdapat perbedaan gugatan dengan permohonan yang diajukan melalui pengadilan. Perbedaan tersebut dapat dirangkum sebagaimana menurut M. Yahya Harahap, berikut ini:

GugatanPermohonan
Permasalahan hukum yang diajukan ke Pengadilan mengandung sengketa.Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja.
Terjadi sengketa di antara para pihak, di antara dua (2) pihak atau lebih.Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada Pengadilan Negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain.
Pihak yang satu berkedudukan sebagai Penggugat dan pihak lainnya berkedudukan sebagai Tergugat.Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan tetapi bersifat bebas, murni dan mutlak satu pihak (ex-parte).
Hakim mengeluarkan putusan untuk dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.Hakim mengeluarkan suatu penetapan  

Demikian artikel perbedaan gugatan dengan permohonan. Semoga bermanfaat.


Referensi:

[1] M. Yahya Harahap., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan, Jakarta: Sinar Grafika: 2008., hlm., 46.

[2] M. Yahya Harahap, Ibid., hlm. 29.

[3] M. Yahya Harahap, Ibid., hlm., 28-137.

Tinggalkan Balasan