Lompat ke konten

Bolehkah Hakim PTUN Melakukan Ultra Petita?

Bacaan 6 menit
bolehkah hakim ptun melakukan ultra petita
Ilustrasi. Sumber gambar: Pixabay.com

Mungkin Anda terkaget-kaget ketika mendapatkan putusan hakim PTUN melakukan ultra petita. Kemudian menjadi pertanyaan di benak: bolehkah Hakim PTUN melakukan ultra petita?

Artikel ini hendak membahas pertanyaan demikian. Apabila Anda sedang mencari informasi terkait dengan hal tersebut, maka sudah tepat membaca artikel ini.

Dalam tulisan ini juga mengambil contoh putusan hakim PTUN yang menerapkan asas ultra petita.

Apa itu Ultra Petita?

Ultra petita adalah suatu prinsip tentang mengabulkan sesuatu yang tidak diminta oleh para pihak yang bersengketa, atau melebih dari apa yang diminta atau dimohonkan para pihak.

Mengapa Ultra Petita tidak Diperbolehkan?

Salah satu asas yang dianut dalam peradilan TUN, adalah asas hakim aktif. Penggunaan asas hakim aktif ini selama proses persidangan, mulai dari pemeriksaan persiapan sampai dengan berakhirnya sengketa, hakim harus aktif. Dengan kata lain, hakim PTUN diberikan kewenangan yang cukup luas untuk mencari kebenaran materiil.

Berbeda dengan perdata yang tidak memperbolehkan menjatuhkan putusan ultra petita. Karena hakim perdata menganut asas hakim pasif. Yang berbeda dengan hakim TUN yang bersifat aktif.

Bolehkah Hakim PTUN Melakukan Ultra Petita?

Pertanyaannya kemudian, bolehkah hakim PTUN melakukan ultra petita dalam putusannya?

Mencermati asas keaktifan hakim, yang mempunyai konsekuensi dasar yaitu menggali apa yang di luar diberikan para pihak. Artinya, hakim dapat mencari kebenaran materiil di luar dari dalil dan bukti yang disodorkan kepadanya. Maka asas keaktifan hakim tersebut menimbulkan penerapan asas ultra petita.

Undang-undang Peradilan Tata Usaha  Negara tidak  menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai ketentuan diperbolehkan atau tidak penggunaan asas ultra petita dalam putusan.

Dalam tuntutan Penggugat misalnya, dapat berpijak pada Pasal 53 ayat (1) UU Peratun. Di sana diketahui bahwa kewenangan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dibatasi  untuk memilih antara menyatakan tidak sah atau batalnya objek  sengketa tata usaha negara yang digugat atau mengatakan keabsahan objek sengketa tersebut dalam bentuk menolak gugatan.

Hal demikian mengakibatkan reformatio in peius. Apa itu reformatio in peius? Yaitu amar putusan pengadilan yang justru merugikan pihak penggugat.

Menurut beberapa pendapat, peradilan seharusnya berpedoman pada 3 (tiga) nilai mendasar yaitu nilai keadilan, nilai kepastian hukum, dan nilai kemanfaatan.

Menurut Radbruch[1], sebagaimana dikutip dalam e-Jurnal Undip , nilai-nilai dasar dari hukum yaitu nilai  keadilan, nilai kegunaan, dan nilai kepastian hukum saling berkaitan satu sama lain. Namun di antara ketiga nilai tersebut terdapat Spannungsverhaltnis yaitu suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian disebabkan karena ketiga nilai berisi  tuntutan yang berlainan dan satu sama lain mengandung potensi untuk bertentangan.

Namun memang, dari ketiga nilai di atas, dapat memilih salah satunya. Untuk itu, menurut saya, hakim PTUN melakukan ultra petita berlandaskan pada kepastian hukum. Artinya, putusan yang melebihi dari tuntutan—adalah salah satu upaya menyelesaikan masalah atau sengketa.

Penerapan Ultra Petita dalam Putusan PTUN

Ada begitu banyak putusan akhir PTUN yang menerapkan asas ultra petita. Beberapa di antaranya saya kutip berikut ini:

1. Putusan Nomor 583 K/TUN/2020

Salah satu hakim PTUN melakukan ultra petita tercermin dalam Putusan Nomor: 583 K/TUN/2020, tanggal 14 Desember 2020. Ir. Budiman, M.T., selaku Penggugat melawan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Tergugat.

Dalam gugatannya, Penggugat sama sekali tidak memohon untuk menerbitkan kembali keputusan atas pemberhentiannya sebagai PNS. Akan tetapi, Mahkamah Agung menerapkan asas ultra petita dengan amar putusan sebagaimana poin 4:

Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan kembali Surat Keputusan Tentang Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang Ada Hubungannya Dengan Jabatan, atas nama Ir. Budiman, M.T. NIP: 19650808 199101 1 001 terhitung mulai tanggal diterbitkan”.

Di samping Penggugat tidak meminta demikian, Tergugat juga tidak memohon agar pengadilan memerintahkan dirinya menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru. Namun, Hakim mempertimbangkan lain:

“ …bahwa namun demikian, Surat Keputusan objek sengketa a quo diterbitkan dengan berlaku surut. Oleh karenanya melanggar asas yang berlaku umum yaitu asas larangan retroaktif dan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, oleh karenanya Tergugat/Termohon Kasasi diwajibkan untuk menerbitkan keputusan baru terhitung sejak tanggal diterbitkannya …”

Dalam pertimbangan tersebut, meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI menerbitkan KTUN melanggar asas larangan retroaktif. Akan tetapi, pengadilan memerintahkan untuk memperbaikinya. Hal ini disebut hakim PTUN melakukan ultra petita dalam putusannya.

2. Putusan Nomor 223/G/2019/PTUN-JKT

Demikian juga hakim PTUN melakukan ultra petita sebagaimana dalam Putusan Nomor 223/G/2019/PTUN-JKT, tanggal 5 Maret 2020.

Penggugat tidak meminta kepada pengadilan untuk menerbitkan KTUN baru sebagai pengganti objek sengketa yang digugat. Demikian juga Tergugat dalam jawaban dan dupliknya tidak mengajukan petitum “menerbitkan KTUN baru”. Namun Hakim PTUN berpendapat lain.

Dalam pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengatakan[2]:

“…setelah memperhatikan objek sengketa ternyata dikeluarkan pada tanggal 3 September 2019. Sedangkan objek sengketa diberlakukan terhitung akhir bulan Agustus 2010 (diberlakukan surut). Karenanya, Pengadilan memberi penilaian hukum. Bahwa surat keputusan yang demikian bertentangan dengan Pasal 57 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menentukan bahwa ‘Keputusan berlaku pada tanggal ditetapkan, kecuali ditentukan lain dalam Keputusan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Keputusan’…”

“… Selain melanggar ketentuan Pasal 57 UU Nomor 30 Tahun 2014, juga melanggar asas yang berlaku umum yaitu asas larangan retroaktif. Asas ini menghindari konsekuensi hukum yang dapat merugikan Penggugat, dan atau pihak lain. Mengingat pasca putusan pidana terhadap Penggugat dijatuhkan dan pemidanaannya selesai dijalani, Penggugat telah dikembalikan sebagai PNS seperti semula yang sudah barang tentu telah banyak melakukan perbuatan hukum, seperti memberi penilaian, menguji kepada mahasiswa dan lain sebagainya. Menurut peraturan perundang-undangan, seharusnya Tergugat menerbitkan objek sengketa segera pada saat putusan berkekuatan hukum yaitu setelah Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap pada tanggal 30 Agustus 2010 saat putusan kasasi. Konsekuensi hukum atas keterlambatan Tergugat untuk menerbitkan objek sengketa tidak dapat dilimpahkan kepada Penggugat, karenanya harus diberlakukan pada saat ditetapkan…”

“… bahwa atas dasar seluruh pertimbangan di atas, karena objek sengketa melanggar Pasal 57 UU Nomor 30 Tahun 2014 dan melanggar asas ‘larangan pemberlakuan surut’. Maka objek sengketa haruslah dinyatakan batal dan Penggugat harus tetap diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS. Dengan koreksi kepada Tergugat diwajibkan untuk memperbaiki kesalahan tersebut, dengan menerbitkan surat keputusan yang sesuai antara tanggal keputusan dengan tanggal diberlakukannya objek sengketa (tidak berlaku surut). Sesuai dengan fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku[3];

Dari dua putusan pengadilan di atas, ternyata meskipun terdapat kesalahan dalam penerbitan KTUN, dan KTUN tersebut dinyatakan batal. Akan tetapi, pengadilan dapat memerintahkan Badan/Pejabat TUN untuk menerbitkan keputusan baru lagi—sekadar perbaikan.

Belakangan, terbit Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Huruf e angka 4 SEMA No. 5 Tahun 2021 tersebut menentukan:

“Keputusan Tata Usaha Negara berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang diterbitkan atas dasar putusan perkara pidana karena melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara karena terkait ketentuan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun, kecuali surat keputusan diberlakukan surut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

Penutup

Dari uraian di atas, pertanyaan bolehkah hakim PTUN melakukan ultra petita, jawabannya boleh. Penerapan putusan ultra petita ini sebagai konsekuensi atas asas hakim aktif. Berbeda halnya dengan Pengadilan Negeri—dalam perkara perdata—Hakim tidak boleh menerapkan asas ultra petita.

Demikian. Semoga bermanfaat.


[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung: 2012., hlm.19.

[2] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 223/G/2019/PTUN-JKT, tanggal 5 Maret 2020, hlm., 44.

[3] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan Nomor: 223/G/2019/PTUN-JKT, tanggal 5 Maret 2020, hlm., 45.

Tinggalkan Balasan