Lompat ke konten

Mempertanyakan Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN

Bacaan 7 menit

Last Updated: 12 Mar 2022, 11:31 pm

mempertanyakan kekuatan eksekutorial putusan ptun
Ilustrasi mempertanyakan kekuatan eksekutorial putusan PTUN.

Pertanyaan: saya bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara . Saya menang sampai tingkat Mahkamah Agung alias putusan telah berkekuatan Hukum Tetap (BHT). Namun, hingga saat ini, Tergugat belum juga mengeksekusi perintah pengadilan. Sebenarnya bagaimana sih kekuatan eksekutorial putusan PTUN itu?

Mempertanyakan Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN

Ada begitu banyak kasus yang kita dapatkan tentang pengabaian perintah pengadilan oleh badan/pejabat TUN. Ketika putusan pengadilan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde), pejabat abai melaksanakannya. Bahkan kadang tidak mau melaksanakan.

Maka tak jarang orang atau badan hukum perdata atau sebagai pihak penggugat, meminta bantuan kepada pengadilan. Bantuan dimaksud menyangkut, agar, pihak pengadilan memberikan peringatan—supaya tergugat melaksanakan putusan pengadilan.

Namun demikian, ada perbedaan antara eksekusi perdata dengan sengketa TUN. Jika eksekusi perdata tersebut sangat memaksa, sengketa TUN tampak hanya ‘administrasi saja’. Hal ini membuat banyak yang bertanya-tanya: bagaimana kekuatan eksekutorial putusan PTUN ?

Artikel kali ini, secara khusus membahas tentang kekuatan eksekutorial putusan PTUN apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun sebelumnya, kita akan mengurai terlebih dahulu apa itu eksekusi.  

Apa itu Eksekusi?

Secara sederhana, eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti.

Menurut KBBI , eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim , pelaksanaan hukuman badan peradilan, atau penjualan harta orang karena berdasarkan penyitaan.  

Namun, adakalanya eksekusi dilakukan terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Hal ini terjadi karena adanya putusan provisi dan putusan uitvoerbaar bij voorraad (UbV).

Meskipun demikian, obyek eksekusi hanya berupa  putusan perdamaian, grosse akta notarial, jaminan (objek gadai, hak tanggungan, fidusia, sewa beli, dan leasing).

Kali ini, membahas tentang eksekusi putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Apa itu Putusan Pengadilan

Putusan adalah suatu pernyataan hakim sebagai pejabat negara yang diucapkan di muka persidangan dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak yang saling berkepentingan.

Putusan akhir sengketa TUN setidaknya ada 4. Antara lain gugatan ditolak, gugatan dikabulkan, gugatan tidak dapat diterima, dan gugatan gugur.

Perlu diingat bahwa hanya putusan Pengadilan TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan. Apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka tidak dapat diajukan eksekusi atau dijalankan bagi pihak yang kalah.

Putusan PTUN Mempunyai Kekuatan Mengikat

Perlu kita pahami bersama, bahwa sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa hukum publik. Sehingga putusannya pun bisa berlaku untuk siapa saja. Artinya, bukan hanya berlaku kepada pihak yang bersengketa saja. Hal ini disebut sebagai erga omnes.

Apa itu erga omnes? Mengutip Wikipedia , erga omnes adalah istilah dalam bahasa latin yang berarti “terhadap semuanya” Dalam bidang hukum, hak atau kewajiban erga omnes adalah hak atau kewajiban “terhadap semua” ….

Secara sederhana, erga omnes adalah putusan PTUN mengikat secara publik, tidak hanya mengikat para pihak yang bersengketa saja. Erga Omnes merupakan salah satu asas dalam PTUN .

Mempertanyakan Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN

Begitu banyak saya dapat kasus putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi. Bukan hanya itu, badan/pejabat TUN tidak mau melaksanakan putusan pengadilan itu sendiri. Akhirnya, muncul pertanyaan: bagaimana kekuatan eksekutorial putusan PTUN?

Mengingat, Pengadilan TUN merupakan kontrol yudisial—dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketika putusan pengadilan tersebut tidak juga dijalankan oleh pejabat, maka apa gunanya pengadilan TUN?

Sebagai masyarakat, yang mempergunakan forum pengadilan untuk mencari keadilan substantif, tampak “tak bergairah”. Karena menganggap kekuatan eksekutorial putusan PTUN masih lemah.

Sekilas Perbedaan Eksekusi Perdata dan TUN

Sebelum membahas kekuatan eksekutorial putusan PTUN, saya ingin mengurai perbedaan eksekusi perdatan dan TUN.

Menurut Indroharto[1] … Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum acara Perdata. Khususnya menyangkut eksekusi putusan.

Menurutnya, kekuatan eksekutorial putusan PTUN ini kita akan keliru kalau berpendapat, bahwa pengertian eksekusi dalam hal itu diartikan sebagai eksekusi riil seperti pada putusan perkara perdata yang dapat dipaksakan dengan bantuan pihak luar dari para pihak sendiri.

Sebab eksekusi riil terhadap pemerintah itu merupakan hal yang mustahil dapat terjadi. Tidak mungkin terhadap pemerintah itu diterapkan tindakan upaya paksa agar secara pribadi melakukan sesuatu prestasi yang telah diputuskan dalam suatu putusan pengadilan.

Pengaturan Eksekusi Putusan dalam UU Peratun

Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri telah mengatur mekanisme kekuatan eksekutorial putusan PTUN.

Mari kita lihat ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peratun:

  1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
  2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
  3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
  4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
  5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
  6. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Pembahasan Ringkas Pasal 116 UU Peratun

Dari keenam poin di atas, kita akan bahas satu persatu, sehingga kita dapat menemukan kekuatan eksekutorial putusan PTUN. Pembahasan ini berkaitan apabila pihak penggugat dimenangkan pengadilan dan pihak tergugat kalah.

1. Pengadilan Mengirim Putusan

Pengadilan akan mengirim putusan kepada para pihak yang bersengketa. Namun demikian, para pihak bisa langsung meminta salinan putusan dimaksud.

2. Tergugat Melaksanakan Putusan dalam Waktu 60 Hari

Setelah salinan putusan dimaksud dikirimkan kepada para pihak, khususnya tergugat, maka dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja, tergugat harus melaksanakan putusan. Apabila tidak melaksanakan, keputusan tata usaha negara yang disengketakan sudah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Dalam poin kedua ini, ada dua yang mesti dipahami. Pertama, yang dimaksud keputusan tata usaha negara adalah keputusan yang dijadikan objek sengketa di pengadilan TUN. Artinya, bukan putusan pengadilan TUN yang dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kedua, maksud dari “tidak mempunyai kekuatan hukum” adalah  keputusan TUN yang disengketakan menjadi tidak berlaku.

Dengan kata lain, tergugat sebagai pihak yang kalah, harus melakukan eksekusi secara sukarela.

3. Apabila tidak Dilaksanakan Tergugat, Penggugat Meminta Bantuan Pengadilan

Telah disebutkan di atas, bahwa penjelasan ini terkait dengan gugatan penggugat dikabulkan pengadilan. Misalnya, pengadilan memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut keputusan TUN yang disengketakan dan menerbitkan keputusan yang baru.

Apabila kedua hal tersebut tidak juga dilaksanakan tergugat dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja, maka pihak penggugat memohon kepada ketua pengadilan. Permohonan ini menyangkut—agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan.

4. Uang Paksa

Dalam penjelasan poin keempat ini, ternyata pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar putusan. Bagaimana ternyata tidak terdapat dalam amar putusan? Maka pembayaran uang paksa ini tidak dapat dilakukan.  

5. Pengumuman di Media Cetak

Di samping itu, pengadilan diberikan wewenang untuk mengumumkan di media cetak terkait dengan tidak dilaksanakannya putusan pengadilan.

6. Pembinaan Pejabat oleh Presiden

Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan, berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah yang tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik.

Dari keenam poin di atas, apabila tergugat tidak melaksanakan putusan pengadilan, apakah ada upaya paksa? Menurut saya tidak ada. Sehingga, bisa berasumsi berdasarkan analisis di atas, bahwa kekuatan eksekutorial putusan PTUN tidak “menggigit” seperti sengketa perdata.

Ketiadaan Lembaga Eksekutorial

Banyak yang berpendapat bahwa salah satu keterbatasan dari kekuatan eksekutorial putusan PTUN adalah ketiadaan lembaga eksekutorial.

Saya beberapa kali menangani kasus sengketa TUN . Mewakili penggugat, kemudian dimenangkan pengadilan. Dari sekian kasus, hanya satu kasus yang eksekusinya meminta bantuan pengadilan.

Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, saya kemudian mengirim surat untuk meminta kepada tergugat melaksanakan putusan. Setelahnya, pihak tergugat secara sukarela mengeksekusi putusan pengadilan tersebut.

Artinya, tidak semua badan/pejabat TUN “susah” melaksanakan putusan pengadilan TUN. Ada begitu banyak yang saya jumpai secara sukarela melaksanakan putusan.

Namun, ada begitu banyak kasus putusan pengadilan yang tidak dieksekusi. Hal ini karena ketiadaan lembaga eksekutorial. Di samping itu, meskipun terdapat ketentuan Pasal 116 UU Peratun, akan tetapi landasan hukum tersebut belum kuat.

Mencermati Pasal 116 belum mempunyai daya paksa, karena hanya “meminta belas kasihan” kepada tergugat agar mempunyai itikad baik melaksanakan putusan pengadilan.

Penutup

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau pasti. Namun, kekuatan eksekutorial putusan PTUN berbeda dengan kekuatan eksekusi perkara perdata.

Dalam sengketa TUN, tidak terdapat lembaga eksekusi—sebagai upaya paksa—agar tergugat melaksanakan putusan pengadilan.

Berbeda dengan perdata, bisa meminta bantuan terhadap pihak-pihak terkait yang berwenang untuk itu.

Sebagai penutup, UU Peratun perlu direvisi kembali. Revisi ini menyangkut uang paksa dan upaya paksa terhadap putusan PTUN.

Mengapa saya menyarankan demikian? Agar putusan pengadilan TUN tidak dianggap “macan ompong” saja. Namun kekuatannya sama dengan eksekusi perdata.

Jadi, sudah paham, kan mengenai kekuatan eksekutorial putusan PTUN?

Demikian. Semoga bermanfaat.  


[1] Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan., hlm., 243-244.

Tinggalkan Balasan