Lompat ke konten

Pencegahan Perkawinan Anak dan Dewasa (Ditinjau dari Dasar Undang-undang)

Bacaan 6 menit
pencegahan perkawinan anak dan dewasa
Ilustrasi. Sumber gambar: pixlr.com

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar pencegahan perkawinan . Namun dalam konteks definisi, mungkin banyak dari kita belum memahaminya.  

Artikel ini dibuat untuk membahas pencegahan perkawinan baik anak maupun dewasa. Perkawinan anak ini sering terjadi di Indonesia, yang biasa disebut dengan pernikahan dini.

Isu-isu terkait dengan pernikahan dini telah banyak disuarakan berbagai lembaga dan individu. Namun demikian, bagaimana melakukan pencegahan pernikahan dini dan mencegah perkawinan untuk dewasa?

Untuk itu, ruang lingkup penulisan artikel ini, membahas setidaknya beberapa poin. Pertama, membahas tentang pencegahan perkawinan anak dan dewasa. Kedua, membahas tentang siapa saja yang berhak mencegah perkawinan. Ketiga, pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara dimaksud.

Namun sebelum membahas tentang pencegahan sebagaimana poin-poin di atas, perlu kiranya mengurai pengaturan tentang anak.

Baca Juga: Pengangkatan Anak dan Syarat Wajib Adopsi Anak

Pengaturan tentang Usia Anak

Dalam artikel usia dewasa menurut undang-undang di Indonesia , setidaknya ada 14 peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usia dewasa.

Terdapat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan[1].

Di samping itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang SPPA ini menentukan:

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Pengaturan tentang anak selanjutnya dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convetion on the RIghts of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak).

Batas Usia Perkawinan

Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1/1974 diubah melalui Pasal 7 ayat (1) UU No. 16/2019 tentang Perkawinan, batas usia perkawinan adalah 19 tahun .

Meskipun dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Apa itu Pernikahan Dini?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pernikahan Dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum calon pengantin menginjak usia minimal yang telah ditetapkan dalam undang-undang perkawinan.

Apa itu Pencegahan Perkawinan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, artikel ini mengutip kata “cegah” dalam KBBI yaitu menahan atau merintangi.

Kata  “mencegah” yaitu:

  1. menahan agar sesuatu tidak terjadi; menegahkan; tidak menurutkan: ia berusaha ~ hawa nafsunya
  2. merintangi; melarang: Ibu selalu ~nya apabila ia hendak pergi
  3. mengikhtiarkan supaya jangan terjadi: Pemerintah segera mengambil tindakan untuk ~ mewabahnya penyakit cacar

Sementara kata “Pencegahan” adalah proses, cara, perbuatan mencegah; pencegahan; penolakan: usaha ~ kepunahan bahasa daerah sedang diseminarkan; sedapat mungkin dilakukan ~ terhadap faktor yang dapat menimbulkan komplikasi.

Sehingga, dapat disimpulkan, bahwa Pencegahan Perkawinan adalah tindakan atau upaya agar perkawinan tidak terlaksana.

Namun demikian, perlu dipahami bahwa pencegahan perkawinan berbeda dengan pembatalan perkawinan . Pun demikian berbeda dengan perceraian .

Pernikahan Dini Melanggar Hak Anak

Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa batas usia perkawinan di Indonesia adalah 19 tahun. Artinya, seorang di bawah usia 19 tahun tidak dapat melangsungkan perkawinan. Kecuali terhadap hal tersebut telah ada penetapan pengadilan tentang dispensasi kawin .

Menurut UU Perlindungan Anak khususnya Pasal 26 ayat (1) terdapat beberapa kewajiban dan tanggung jawab orang tua, antara lain:

  1. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
  2. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak.

Baca Juga: Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Lembaga Pencatatan dan Pengawasan Perkawinan

Agar pembahasan lebih mendalam, artikel ini juga mengurai lembaga pencatatan dan pengawasan perkawinan.

1. Kantor Urusan Agama (KUA)

Salah satu fungsi KUA adalah pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk bagi orang-orang yang beragama Islam.

KUA merupakan pelaksana teknis pada Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.

2. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)

Salah satu tugas dan fungsi Dukcapil adalah melakukan pencatatan dan pengawasan administrasi kependudukan berupa perkawinan dan perceraian bagi orang-orang selain beragama Islam. Dukcapil berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.

3. Badan Peradilan

Badan Peradilan dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya. Badan peradilan tersebut berada di bawah Mahkamah Agung.

Tentang Pencegahan Perkawinan dalam Lingkup Anak dan Dewasa

Sekarang, kita beralih ke pembahasan inti. Pembahasan ini merujuk kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan perkawinan. Agar lebih mudah memahaminya, tulisan ini membagi dua pembahasan:

Pertama pencegahan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kedua, pencegahan menurut UU Perkawinan.

Pencegahan Perkawinan Menurut KHI

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang pencegahan perkawinan pada BAB tersendiri, yaitu BAB X. Menurut ketentuan Pasal 60 KHI, Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan[2].

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan[3].

Mengutip Syahrudin dalam artikelnya terdapat dua syarat utama yang apabila tidak dipenuhi suatu perkawinan dapat dicegah.

Pertama, syarat materiil yakni yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan yang berkaitan dengan larangan perkawinan baik larangan perkawinan untuk selama-lamanya (mu’abbad), maupun larangan perkawinan untuk sementara waktu (mu’aqqot).

Kedua, syarat administratif, yakni syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan/persyaratan yang ditentukan oleh hukum agama (calon mempelai laki-laki dan perempuan, saksi, dan wali) dan pelaksanaan akad nikah (ijab-kabul) nikahnya.

4 Pihak yang Berhak Mengajukan Pencegahan Perkawinan

Menurut ketentuan Pasal 62 ayat (1) dan (2) KHI, terdapat beberapa pihak yang berhak untuk mencegah perkawinan, antara lain:

1. Para Keluarga

Para keluarga yang dimaksud adalah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah , wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Ayah Kandung

Meskipun ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

3. Suami atau Istri

Selain pihak di atas, untuk mencegah perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan[4].

4. Pejabat

Pejabat yang dimaksud adalah pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi[5].

Ke Mana Mengajukan Pencegahan Perkawinan?

Mencegah perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah[6]. Di samping itu, kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Namun demikian, bagi pihak-pihak yang ditolak rencana perkawinannya, dapat mengajukan keberatannya kepada Pengadilan Agama  dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan[7].

Pencegahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan

Permohonan pencegahan perkawinan dilakukan apabila calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan[8].

Pihak yang Hak Mencegah Perkawinan

Siapa saja yang dapat mencegah perkawinan? Pada dasarnya pihak yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan dalam UU Perkawinan diduplikasi oleh KHI. Artinya, pihak-pihak yang berhak dimaksud adalah sama yaitu:

1. Para Keluarga

Para Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali.

2. Pengampu

Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

3. Suami atau Istri yang Masih Terikat Perkawinan

Apabila ternyata salah satu calon mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lain, berhak mengajukan pencegahan perkawinan yang baru.

Baca Juga: Suami Nikah Lagi Tanpa Izin Istri Pertama

4. Pejabat yang Ditunjuk

Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Ke Mana Mengajukan Pencegahan Perkawinan?

Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan[9]. Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam atau Peradilan Umum bagi yang lainnya.

Penutup

Mencegah perkawinan baik perkawinan anak maupun dewasa dapat dilakukan. Pencegahan ini diajukan karena salah satu calon atau kedua calon mempelai tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Permohonan pencegahan perkawinan ini merupakan salah satu jenis permohonan di Pengadilan Agama , yang berbeda dengan pembatalan perkawinan dan perceraian.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Baca Juga: Menarik Mengetahui Tentang Perjanjian Perkawinan


[1] Ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Perlindungan Anak.

[2] Lihat Ketentuan Pasal 60 ayat (1) KHI.

[3] Lihat Ketentuan Pasal 60 ayat (2) KHI.

[4] Lihat Ketentuan Pasal 63 KHI.

[5] Lihat Ketentuan Pasal 64 KHI.

[6] Lihat Ketentuan Pasal 65 ayat (1) KHI.

[7] Lihat Ketentuan Pasal 69 ayat (3) KHI.

[8] Lihat Ketentuan Pasal 13 UU Perkawinan.

[9] Pasal 17 ayat (1) UU Perkawinan.

Tinggalkan Balasan