Ketika berselancar di media sosial, saya sering mendapatkan postingan berupa “keluhan”. “Keluhan” tersebut berupa—tiba-tiba menerima kabar, bahwa status perkawinan ↗ dengan pasangannya telah terputus karena perceraian.
Artinya, si pemilik akun tersebut tidak pernah mendengar atau bahkan menerima surat panggilan sidang perceraian sebagaimana seharusnya. Sebenarnya, bagaimana sih tata cara panggilan sidang perkara perceraian?
Artikel ini dibuat untuk merespons fakta tersebut. Namun, sebelum membahas tentang substansi panggilan sidang perceraian, tulisan ini hendak menyampaikan beberapa definisi sebagai berikut:
Daftar Isi
Apa itu Panggilan Sidang?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ↗, panggilan adalah:
- imbauan; ajakan; undangan: azan merupakan ~ bagi kaum muslimin untuk melakukan salat;
- hal (perbuatan, cara) memanggil;
- (orang) yang dipanggil untuk bekerja dan sebagainya: montir ~
- sebutan nama: ~ sehari-harinya Gepeng.
Mengutip PTUN Makassar ↗, panggilan terdapat dua jenis, yaitu panggilan sidang dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Panggilan sidang dalam arti sempit adalah undangan kepada pihak yang terkait untuk menghadiri sidang pada hari yang telah ditentukan.
Panggilan sidang dalam arti luas adalah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan.
Menurut Abdil Baril Basith[1], Pemanggilan berkaitan dengan ketaatan terhadap asas persamaan di depan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”, juga Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama).
Menurutnya, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama dan sederajat (equality, egality) untuk mengajukan dalil-dalil atau menyampaikan keterangan beserta alat bukti yang menguatkannya. Sebelum itu, kedua belah pihak tersebut berhak untuk mengetahui kapan dan di mana persidangan akan dilaksanakan. Kelalaian memberitahu kapan dan di mana persidangan tersebut akan dilaksanakan menyebabkan segala sesuatu tahap persidangan dan tahapan selanjutnya batal demi hukum[2].
Apa itu Perkara Perceraian?
Secara sederhana, perkara perceraian adalah gugatan atau permohonan yang meminta kepada pengadilan untuk memutuskan perkawinan suami istri.
Baca Juga: Apa Perbedaan Gugatan dengan Permohonan? ↗
Kewenangan Mengadili Perkara Perceraian
Perkara perceraian khusus untuk orang-orang yang beragama Islam, adalah kewenangan Peradilan Agama ↗ untuk memeriksa, memutus, dan mengadilinya.
Sementara orang-orang selain beragama Islam, perkara perceraian merupakan kewenangan Peradilan Umum ↗.
Dasar Hukum dan Tata Cara Panggilan Sidang Perceraian
Sekarang, kita beralih dalam pembahasan bagaimana tata cara panggilan sidang perceraian. Pemanggilan ini berhubungan dengan—ketika pihak tergugat atau termohon tidak diketahui tempat tinggalnya baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia.
Siapa yang Melakukan Panggilan Sidang Perceraian?
Untuk merinci dan memperjelas, artikel ini membagi dua pembahasan pemanggilan sidang: yaitu, pertama panggilan sidang perceraian untuk Pengadilan Agama. Kedua, panggilan sidang khusus Pengadilan Negeri.
Secara umum, baik berdasarkan peraturan perundang-undangan ↗ maupun dalam praktik, pemanggilan sidang dilakukan oleh Juru Sita atau Juru Sita Pengganti.
Mengutip laman Pengadilan Agama Banggai ↗ menyebutkan, Juru Sita sebagai koordinator para Juru Sita Pengganti, membantu Majelis Hakim dalam pemanggilan para pihak atau saksi-saksi untuk menghadiri persidangan, pengucapan ikrar talak ↗, melaksanakan penyitaan, menjalankan putusan Hakim (eksekusi), menyampaikan pemberitahuan isi putusan, membuat berita iklan/pengumuman dan melaksanakan tugas khusus serta melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan.
Dasar Hukum Panggilan Sidang Perceraian
Menyambung poin di atas, hal mana juga sesuai dengan ketentuan Pasal 388 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), yang pada pokoknya berbunyi:
- Semua juru sita dan suruhan yang dipekerjakan pada majelis pengadilan dan pegawai umum Pemerintah mempunyai hak yang sama dan diwajibkan untuk menjalankan panggilan, pemberitahuan dan semua surat jurusita yang lain, juga menjalankan perintah hakim dan keputusan-keputusan.
- Jika tidak ada orang yang demikian, maka ketua majelis pengadilan, yang dalam daerah hukumnya surat juru sita itu harus dijalankan, harus menunjuk seorang yang cakap dan dapat dipercayai untuk mengerjakannya.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 390 ayat (1) HIR, menentukan:
“Tiap-tiap surat juru sita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat juru sita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.”
Di samping itu, terdapat juga ketentuan lain yaitu Pasal 1 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang pada pokoknya menentukan:
“Penyampaian surat pernyataan gugatan, pemberitahuan kepada yang berkepentingan sendiri dan pemberitahuan surat-surat resmi”.
Berdasarkan ketentuan di atas, yang berwenang melakukan peanggilan sidang perceraian adalah Juru Sita atau Juru Sita Pengganti. Namun, disesuaikan dengan kewenangan relatif yang dimilikinya.
Bagaimana Bentuk Panggilan Sidang Perceraian?
Bentuk panggilan sidang perceraian menurut ketentuan di atas, khususnya Pasal 390 ayat (1) HIR, panggilan sidang atau yang biasa disebut relaas, harus dilakukan dalam bentuk tertulis.
Artinya, panggilan sidang tidak boleh dilakukan secara lisan, karena tindakan yang demikian itu, rumit untuk membuktikannya.
Tata Cara Panggilan Sidang Perceraian di Pengadilan Agama
Mengenai panggilan sidang perceraian di Pengadilan Agama, pengadilan merujuk kepada ketentuan Pasal 54 UU Peradilan Agama. Ketentuan tersebut berbunyi:
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.
Menurut ketentuan tersebut, sepanjang tidak diatur dalam UU Peradilan Agama, maka hukum acara perdata berlaku juga untuk hukum acara di Pengadilan Agama.
Mengenai pemanggilan sidang perceraian di Pengadilan Agama ini, sebagiannya telah disebutkan di atas. Akan tetapi, terdapat pula hukum acara pemanggilan lainnya yang bersifat khusus.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9/1975), yang menentukan:
- Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian ↗, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
- Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
- Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
- Panggilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
- Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Bagaimana jika alamat atau tempat tinggal tergugat tidak diketahui baik di dalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia? Berdasarkan ketentuan Pasal 27 PP No. 9/1975, dilakukan sebagai berikut:
- Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan ↗.
- Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
- Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
- Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Di samping tata cara panggilan sidang perceraian diatur di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur pemanggilan sidang. Akan tetapi, ketentuan Pasal 138 KHI mengadopsi Pasal 27 PP No. 9/1975.
Mengenai pemanggilan terhadap Tergugat (termasuk Turut Tergugat) yang tidak diketahui tempat tinggal dan atau tempat diamnya diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR [Pasal 718 ayat (3) R.Bg.]. Selain pasal-pasal tersebut, berlaku pula tata cara pemanggilan sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1)-(4) PP, sebagaimana kemudian diadopsi mutatis mutandis oleh Pasal 139 ayat (1)-(4) Kompilasi Hukum Islam.
Baca Juga: Apakah Bisa Cerai Tanpa Sidang? ↗
Tata Cara Panggilan Sidang Perceraian di Pengadilan Negeri
Telah disebutkan di atas mengenai dasar hukum panggilan sidang perceraian. Khusus untuk Pengadilan Negeri, berpedoman pada HIR dan Rv.
Mengenai tergugat yang tidak diketahui tempat tinggal atau kediamannya di Indonesia, maka terdapat ketentuan pemanggilan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 390 ayat (2) dan (3) HIR, yang berbunyi:
“Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat juru sita itu disampaikan pada ahli warisnya; jika ahli waris ↗ tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa di tempat tinggal yang terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang Asing, maka surat juru sita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada Balai Harta Peninggalan.”
“Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal penggugat dan dalam perkara pidana ↗, yang dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan. Bupati itu memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim yang berhak itu.”
Tentang Isi Surat Panggilan Sidang Perceraian dan Sah Tidaknya Panggilan
Menurut ketentuan Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv, relaas harus memuat hal-hal sebagai berikut:
- nama yang dipanggil;
- hari dan jam serta tempat sidang;
- membawa saksi-saksi yang diperlukan;
- membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Poin-poin di atas haruslah dimuat semua dalam surat panggilan. Artinya, sifatnya kumulatif, yang bukan alternatif. Dengan demikian, apabila ternyata dalam relaas tidak memuat semua poin dimaksud, maka surat panggilan cacat hukum, sehingga dianggap tidak sah.
Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk melampirkan salinan surat gugatan. Salinan surat gugatan ↗ tersebut dianggap asli.
Pemanggilan dianggap sah, khusus tempat tinggal tergugat tidak diketahui, adalah sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Apabila hal-hal demikian tidak terpenuhi, maka panggilan dianggap tidak sah.
Panggilan Sidang Menggunakan Teknologi
Saat ini, setiap Pengadilan di Indonesia khususnya tingkat pertama telah menggunakan e-Court. E-Court ↗ adalah layanan bagi pengguna terdaftar untuk pendaftaran perkara secara online ↗, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara ↗ secara online, pembayaran secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik.
Untuk itu, panggilan sidang perceraian bisa saja menggunakan teknologi, baik yang bersifat tempat tinggal diketahui maupun tidak diketahui. Sebab, informasi dan teknologi elektronik saat ini semakin canggih dan modern.
Penutup
Panggilan sidang perceraian yang tidak diketahui keberadaan tergugat, dilakukan sebagaimana cara-cara di atas. Apabila ternyata syarat tersebut sudah dipenuhi, kemudian tergugat tidak hadir ↗ juga menghadap persidangan, maka sidang dilakukan tanpa kehadiran tergugat.
Akibatnya, putusan akhir pengadilan ↗ dijatuhkan secara verstek.
Jadi, sudah tahu, kan, dasar hukum hingga tata cara panggilan sidang perceraian?
Demikian. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: 6 Cara Mengajukan Cerai Tanpa Pengacara ↗
[1] Abdil Baril Basith, Problematika Pemanggilan terhadap Tergugat yang tidak Diketahui, Artikel., hlm., 1.
[2] Ibid., hlm., 2.