Putusnya perkawinan dikarenakan beberapa faktor, yaitu disebabkan kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan ↗. Bagi Anda yang sedang mencari informasi terkait dengan akibat putusnya perkawinan karena perceraian, artikel ini menyajikan untuk Anda.
Sebab, artikel ini secara khusus membahas tentang akibat putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian. Perceraian yang dimaksud baik melalui cerai talak maupun cerai gugat ↗.
Analisis yang dilakukan didasarkan pada dua produk peraturan perundang-undangan ↗. Yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Daftar Isi
Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian
Pembatasan atau ruang lingkup akibat putusnya perkawinan ini adalah karena adanya putusan pengadilan. Dalam bentuk cerai gugat atau cerai talak ↗.
Akibat Putusnya Perkawinan karena Cerai Talak
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa salah satu sebab putusnya perkawinan karena adanya perceraian ↗ yang diputuskan oleh pengadilan. Dalam sub judul ini membahas tentang akibat putusnya perkawinan karena cerai talak.
Oleh karena telah diputus pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, maka ada akibat yang harus ditanggung oleh bekas suami akibat putusnya perkawinan tersebut. Apa saja kewajiban bekas suami dimaksud?
Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat beberapa kewajiban bekas suami yaitu:
1. Memberikan Mut’ah
Apa itu Mut’ah? Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya[1]. Besaran mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Salah satu kewajiban suami sebagai akibat putusnya perkawinan adalah memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya. Baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
Namun demikian, pemberian mut’ah ini terdapat syarat. Menurut ketentuan Pasal 158 KHI menyebutkan bahwa wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
- belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul;
- perceraian itu atas kehendak suami.
Berbeda hal dengan ketentuan Pasal 158 KHI, Pasal 159 menyebutkan, Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat.
2. Memberikan Maskan dan Kiswah Selama dalam Iddah
Bekas suami juga diberikan kewajiban untuk memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.
Apa itu maskan dan kiswah? Maskan adalah tempat tinggal. Kiswah adalah pakaian.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila istri yang mengajukan gugatan cerai ↗ kepada suami, maka suami tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah, maskan, dan kiswah.
Namun demikian, terdapat ketentuan berupa SEMA sebagaimana akan dijelaskan di bawah.
3. Melunasi Mahar
Apa itu Mahar? Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam[2].
Mahar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ↗ adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; maskawin
Salah satu kewajiban bekas suami atas akibat putusnya perkawinan ↗ karena cerai talak adalah melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul.
Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) KHI, apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
Selanjutnya, ketentuan Pasal 35 ayat (1) KHI mengatur:
Suami yang menalak istrinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
4. Biaya Hadhanah
Kewajiban bekas suami sebagai akibat putusnya perkawinan adalah memberikan biaya hadhanah untuk anak atau anak-anaknya yang belum mencapai usia ↗ 21 tahun.
Abdul Aziz dahlan, Dkk menyebutkan, hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.[3]
Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kemampuan suami.
Dengan kata lain, ada hak-hak anak ↗ yang harus dipenuhi terutama terkait dengan hadhanah.
5. Nafkah Iddah
Menurut ketentuanPasal 152 KHI, bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bukan hanya dalam kasus perkara cerai talak saja, dimungkinkan juga pemberian nafkah iddah ini dalam cerai gugat. Hal ini tergambar dalam angka 2 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, yang menentukan:
“Hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak.”
“Guna mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan hukum, maka istri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut’ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz.”
Akibat Putusnya Perkawinan karena Cerai Gugat
6. Terhadap Anak
Akibat putusnya perkawinan juga berpengaruh terhadap anak. Menurut ketentuan Pasal 156 KHI menyebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: a) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; b) ayah; c) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; d) saudara perempuan ↗ dari anak yang bersangkutan; e) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
- anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
Selanjutnya, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Dalam hal terjadinya perceraian:
- pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
- biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Demikian juga disebutkan dalam ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian antara lain:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan ↗ memberi keputusannya;
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Artinya, meskipun suami istri telah bercerai, akan tetapi kewajiban untuk mengasuh dan mengurus anak di bawah umum merupakan kewajiban keduanya.
7. Bubarnya Harta Bersama
Akibat putusnya perkawinan salah satunya adalah ikut bubarnya harta bersama. Sebagai akibatnya, Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan ↗ [4].
Sementara menurut ketentuan Pasal 37 beserta penjelasan UU Perkawinan menyebutkan:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Meskipun menurut KHI harta bersama dibagi dua ↗, namun belum tentu praktiknya demikian. Sebab, terkadang ada salah satu pihak yang tidak ingin membagi harta bersama ↗ tersebut sama rata. Hingga akhirnya berujung gugatan ke pengadilan.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa akibat putusnya perkawinan. Hal yang paling mendasar adalah tanggungan suami apabila perceraian dalam bentuk cerai talak.
Namun pada umumnya, yang paling merasakan akibat putusnya perkawinan adalah anak-anak. Meskipun terdapat ketentuan orang tua memiliki kewajiban mengurus dan mengasuh anak hingga dewasa. Akan tetapi, kewajiban tersebut kadang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akibat hukum putusnya perkawinan paling penting dalam artikel ini adalah: pertama, pemeliharaan anak ↗; kedua, bubarnya harta bersama.
Demikian. Semoga bermanfaat.
[1] Lihat Ketentuan Pasal 1 huruf j KHI.
[2] Lihat Ketentuan Pasal 1 huruf d KHI.
[3] Abdul Aziz dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1997., hlm., 37.
[4] Lihat Ketentuan Pasal 97 KHI.